Akhir November tahun lalu saya menghadiri acara pernikahan dua orang anak dari saudara sepupu istri saya di Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Jadi, di atas pelaminan yang tentu saja bercorak pelaminan Minang yang diadakan di gedung auditorium Universitas Negeri Padang itu, ada dua pasang pengantin dan tiga pasang orang tua pengantin.Â
Pengantin pria pada pasangan yang pertama adalah anak tertua dari saudara istri saya dan pengantin wanita pada pasangan kedua adalah anak keduanya.Â
Si anak pria mendapatkan jodoh seorang gadis yang berasal dari Jember, Jawa Timur. Sedangkan adik wanitanya mendapatkan jodoh seorang laki-laki sesama warga kota Padang.
Menariknya, dari dua pasang pengantin plus tiga pasang orang tua pengantin, yang berarti ada 10 orang yang berdiri di panggung pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari para undangan, 7 di antaranya adalah dokter.
Ketujuh orang dokter tersebut terdiri dari suami-istri yang merupakan saudara istri saya tersebut beserta dengan dua anak dan dua menantunya, ditambah seorang ibu dari salah satu menantunya.
Kemudian saya mengamati, yang datang memenuhi undangan resepsi pernikahan tersebut kebanyakan juga berprofesi sebagai dokter. Tentu ini dapat dipahami karena mereka adalah teman para pengantin atau teman orang tua pengantin.
Bagi orang tua yang bisa menikahkan dua orang anaknya sekaligus, jelas merupakan sebuah keberuntungan. Maksudnya lebih efisien dari sisi waktu, biaya, dan hal lainnya. Bagi yang diundang pun juga lebih efisien.Â
Namun bukan soal resepsinya yang ingin saya ulas. Saya merenung kok bisa banyak dokter yang ketemu jodoh dokter juga. Karena selain yang ditulis di atas, saya juga mengenal banyak pasangan suami istri sesama dokter.
Tak ada yang aneh sebetulnya, karena pada profesi lain hal ini juga lazim terjadi. Tapi dari pengamatan sekilas, di kalangan dokter mungkin lebih banyak.
Dugaan saya karena dokter lebih sibuk, biasanya praktik di beberapa tempat, sehingga relatif tidak banyak kesempatan bersosialisasi.Â