Kembali ke kisah film Jelita Sejuba, memang di kepulauan Natuna, warga pendatang kebanyakan adalah tentara yang hanya ditugaskan selama waktu tertentu.
BUMN seperti PLN, BRI, Telkom, punya kantor di Natuna. Tapi statusnya bukan kantor cabang, meskipun Natuna merupakan kabupaten hasil pemekaran.Â
Hanya kantor cabang pembantu atau ranting dari BUMN tersebut yang ada di Natuna, sehingga tidak begitu banyak menyerap tenaga kerja dari luar Natuna.
Selain tentara dan polisi, diperkirakan ada sejumlah guru dan perawat yang berasal dari luar Natuna yang ditempatkan di sana. Tapi jelas sangat langka orang luar Natuna yang ingin datang ke Natuna karena keinginan sendiri, bukan karena ditugaskan.
Jarak yang amat jauh, menjadi salah satu alasan kenapa Natuna tidak menarik dikunjungi. Jangankan dari Jakarta, dari Tanjung Pinang yang merupakan ibu kota Provinsi Kepulauan Riau saja, butuh dua hari naik kapal laut.
Memang sudah ada pesawat berbaling-baling yang terbang dari Batam ke Natuna dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit, tapi frekuensinya amat terbatas dan biayanya lumayan mahal.
Karena pemasaran secara daring mulai membuahkan hasil, justru wisatawan asing yang mulai berdatangan ke Natuna via Batam. Coba buka berita seputar wisata di Natuna, akan ditemukan komentar turis asing yang mengatakan Natuna tidak kalah dengan Maladewa.
Sekarang juga sudah ada masjid megah di Ranai, ibu kota kabupaten Natuna. Tentu akan lebih bernilai, bila masjid tersebut juga disinggahi para wisatawan dari luar Natuna.
Ironis memang bila kawasan yang indah dan mengandung kekayaan hasil laut yang berlimpah, juga penghasil minyak dan gas, justru seolah-olah terlupakan. Jangan menunggu situasi gawat, Natuna baru diingat.
Terbetik pula berita bahwa ada usulan dari Bupati Natuna agar Natuna ditingkatkan statusnya jadi provinsi khusus. Maksudnya untuk memperkuat kedudukan pemerintah dalam menghadapi ancaman pihak asing.