Keterlibatan nasabah sebetulnya bukan hal yang tanpa dasar. Jangan anggap nasabah sama dengan konsumen biasa yang membeli suatu produk.Â
Nasabah yang menyimpan uang di bank atau produk investasi di perusahaan asuransi, posisinya sama dengan kreditur, alias yang memberi utang.Â
Bayangkan, sesuai ketentuan OJK, capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal sebuah bank, minimal hanya 8 persen dari aset tertimbang menurut risikonya. Artinya uang yang diputarkan bank, mayoritas adalah uang yang dititipkan nasabah, bukan dari modal bank.
Itulah bedanya dengan konsumen atau pelanggan produk non-keuangan. Uang yang diputarkan sebuah pabrik berasal dari modalnya sendiri atau utang ke bank, bukan uang dari konsumen.
Selama ini pada industri jasa keuangan dikenal adanya tiga lapis yang mengawasi perusahaan dari pihak internal yang berada di bawah kendali direksi dan tiga lapis dari pihak di luar direksi.
Tiga lapis pengawasan di bawah komando direksi terdiri dari unit bisnis yang harus menerapkan standar prosedur yang telah ditetapkan, unit manajemen risiko yang memitigasi risiko sebagai tindakan preventif, dan unit audit internal sebagai tindakan represif.
Adapun tiga lapis di luar kendali direksi adalah dari dewan komisaris, dari kantor akuntan publik sebagai auditor eksternal, dan dari OJK sebagai regulator.
Jadi, jika nasabah ikut juga berperan langsung dalam mengawasi industri jasa keuangan, maka ini akan menjadi lapisan ke tujuh.
Masalahnya bagaimana cara nasabah untuk mengawasi perusahaan? Pada era teknologi canggih saat ini bisa memakai metode crowdsourcing-based risk management system.
Belum begitu jelas bagaimana sistem tersebut bekerja. Tapi yang saya bayangkan adalah berupa aplikasi yang bisa diakses semua nasabah melalui telepon pintarnya.Â
Aplikasi tersebut terhubung dengan laporan keuangan perusahaan dan informasi lainnya yang diperlukan, untuk nantinya nasabah bisa mengisi check list dengan memberi skor 1 hingga 5.