Kemudian kalau naik taksi, jika misalnya argometernya menunjukkan angka Rp 44.320, saya akan membayar dengan selembar uang pecahan Rp 50.000. Ada pengemudi yang memberi uang kembalian Rp 5.000, namun saya tolak. Itu saya anggap sebagai tip.
Demikian juga sejak maraknya pemesanan taksi online, termasuk juga ojol, saya memakai sistem pembulatan ke atas seperti yang saya lakukan terhadap taksi konvensional.
Yang saya agak kesal adalah bila supir taksi terang-terangan meminta tip. Atau ada juga yang pakai taktik "memancing" dengan mengajak ngobrol sepanjang perjalanan.Â
Dalam hal ini si pengemudi mendominasi obrolan dengan topik kesulitan keuangan yang dihadapinya dan betapa tak mencukupi penghasilannya dari mengemudi taksi.
Jika naik bajaj atau ojek motor konvensional, saya memang tidak memberi tip. Soalnya untuk moda transportasi ini sudah dilakukan tawar menawar di depan, dan saya bukan tipe yang ngotot dalam menawar.
Ada pakar yang berpendapat budaya meminta dan memberi tip termasuk bagian dari budaya korupsi di negara kita. Itu makanya kenapa praktik korupsi amat sulit dibasmi.
Namun saya punya pendapat lain, memberi tip kepada pengemudi yang dugaan saya taraf kehidupannya masih relatif belum baik, sah-sah saja. Hitung-hitung anggap saja memberikan bantuan dan mudah-mudahan menjadi amal.
Adapun bila memberi tip kepada aparat pemerintah, apalagi pakai tarif tertentu tanpa tanda terima yang termasuk pungutan liar, jelas tindakan yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H