Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Awal Liburan Panjang, Tersiksa 155 Menit di Jalan Tol Layang Japek II

23 Desember 2019   00:07 Diperbarui: 23 Desember 2019   08:41 4642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi anak sekolah dan juga mahasiswa, rata-rata telah memulai libur panjang sejak Sabtu (21/12/2019) lalu. Bahkan orang kantoran pun, yang masih punya hak cuti, ikut-ikutan serentak memulai libur akhir tahun. 

Anak perempuan saya yang kuliah di Universitas Padjadjaran dan kost di dekat kampusnya di kawasan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, juga telah selesai mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).

Biasanya anak saya tersebut naik bus kalau pulang ke Jakarta. Namun karena mau libur panjang, ia banyak membawa barang dan minta saya menjemputnya dengan membawa kendaraan pribadi.

Pecah ban (dok pribadi)| Dokumentasi pribadi
Pecah ban (dok pribadi)| Dokumentasi pribadi
Maka jadilah saya bolak-balik Jakarta-Jatinangor bertepatan dengan awal libur panjang tersebut. Dugaan saya sebelum berangkat tidak akan memakan waktu yang lama. 

Normalnya untuk Jakarta-Jatinangor dengan jarak sejauh sekitar 150 km itu hanya butuh waktu lebih kurang 3 jam. Tapi selama ada proyek pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek II (Japek II), terjadi kemacetan parah sehingga waktu tempuh menjadi 6-7 jam.

Tapi bukankah proyek tol layang sudah diresmikan dan sudah bisa dilewati? Bahkan saya menuliskan pengalaman saya saat menjajal tol layang tersebut dengan lancar jaya di sini.

Anggaplah karena liburan akhir tahun, perkiraan saya tidak akan selancar yang saya rasakan pada tulisan tersebut. Namun penambahan waktu tempuh menurut saya paling lama sekitar 1 jam saja, sehingga Jakarta-Jatinangor menjadi 4 jam.

Karena saya meninggalkan rumah di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, pada jam 8 pagi, saya mengirim pesan ke anak saya, bahwa sekitar jam 12 siang saya diperkirakan sudah sampai di kosannya.

Contra flow | Dokumentasi pribadi
Contra flow | Dokumentasi pribadi
Awalnya tidak ada niat saya untuk menulis lagi tentang pengalaman melewati jalan tol layang. Tapi karena pengalaman yang kedua ini demikian bertolak belakang dengan yang pertama, saya memutuskan untuk menuliskannya.

Tujuan saya agar pembaca tidak salah persepsi dengan menganggap pengalaman pertama saya sebagai acuan. Apalagi seorang kompasianer senior Edy Supriatna bertanya di kolom komentar, kok gak ada kekurangannya (dari jalan tol layang) yang ditulis?

Ternyata dua kali saya melewati jalan tol layang, dua-duanya merupakan pengalaman yang ekstrim. Lancar banget saat bukan di hari libur dan macet banget saat awal libur panjang. 

Sebelum masuk tol layang di km 5 saya sudah bertemu kemacetan, namun 1 km menjelang tol layang, kembali lancar. Maka dengan yakin, saya pun naik tol layang di gerbangnya di km 9. Saat itu jam menunjukkan angka 08.29.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Namun dugaan saya salah total. Baru sekitar 2 km saya berada di atas tol layang, saya pun mendadak kaget melihat demikian banyak kendaraan yang berjalan lamban kayak keong, bahkan kadang-kadang terhenti sama sekali.

Maka drama "horor" itu pun dimulai. Saya memaklumi, banyak pengguna jalan yang berbondong-bondong masuk tol layang karena terlanda euforia, penasaran bagaimana rasanya melayang sejauh 39 km. 

Akhirnya bahu jalan yang harusnya untuk jalur darurat, disesaki kendaraan juga. Harusnya ada running text elektronik yang mengumumkan kondisi padat tidaknya jalan tol layang 1 km sebelum gerbang masuk. 

Atau bisa jadi pengumuman itu ada, tapi luput dari perhatian saya dan orang lain yang tak sabar ingin menikmati jalan tol layang.

Kemudian terjadi stuck yang relatif lama di km 19. Jalan sedikit, stuck lagi. Akhirnya salah satu sumber kemacetan terlihat di km 31. Ada kendaraan yang pecah bannya dan sedang menepi di jalur darurat dibantu oleh petugas jalan tol. 

Ada pula pengendara yang berhenti di jalur darurat karena buang air kecil di balik ban belakang sebelah kiri. Inilah dampaknya tidak adanya rest area.

Setelah itu perjalanan agak lancar. Tapi mulai km 34 macetnya makin menjadi-jadi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sumpah serapah pengguna tol layang, kalau nanti sudah membayar mahal, tapi bertemu macet parah seperti ini.

Tentu keberadaan pos pembayaran di jalan tol layang, juga akan menambah kemacetan. Menurut saya, kalau sama-sama macet, lebih baik macet di tol bawah, karena lebih lebar jalannya dan ada rest area. Tidak gampang menahan buang air berjam-jam dan bahkan bisa mendatangkan penyakit. 

Ada yang kebelet | Dokumentasi pribadi
Ada yang kebelet | Dokumentasi pribadi
Lagi mangkel-mangkel begitu, eh, ada suara nguing-nguing pertanda ada pejabat tinggi yang didahului motor pengawalnya. Maka semua mobil pun mepet-mepet memberi jalan.

Jalan tol layang yang normalnya untuk dua mobil berjejer dipaksa jadi memuat empat mobil sejajar, karena bahu jalan dipakai dan satu jalur buat mobil pejabat itu tadi. Kaca spion antar mobil pun hampir bersenggolan.

Di km 43 saya bertemu lagi dengan mobil yang mengalami pecah ban. Pengaruh cuaca panas bisa jadi turut membahayakan kondisi ban yang sudah hampir hilang kembang-kembangnya.

Saran saya, bagi yang bepergian melewati jalur Pantura di masa liburan, harus cermat berhitung. Selain memeriksa kondisi kendaraan, perlu cermat memilih, mau lewat jalan biasa atau jalan tol. Begitu memilih jalan tol ada lagi dua pilihan, tol bawah atau tol layang. 

Perilaku ikut-ikutan malah membuat jalur yang diprediksi akan lancar menjadi macet, sedangkan yang diprediksi bakal macet, malah mungkin jadi lancar karena sedikit yang memilih.

Akhirnya tepat jam 11.04 saya sudah berada di km 48, yang mulai menyatu dengan tol bawah. Artinya 155 menit saya menghabiskan waktu sepanjang 39 km jalan tol layang. Sangat jauh berbeda dengan pengalaman pertama yang hanya setengah jam.

Jualan buku di rest area km 57| Dokumentasi pribadi
Jualan buku di rest area km 57| Dokumentasi pribadi
Tapi penderitaan belum berakhir. Tadinya pas di atas, dalam hati saya iri dengan bus dan truk yang mungkin lancar di bawah. Ternyata ketika mulai bertemu kendaraan besar, terlihat bus dan truk juga terkena macet. 

Terlihat pula ada pos pengamanan di pinggir jalan km 49. Kemudian juga tampak mobil liputan dari Metro TV. Sebelumnya, menjelang masuk tol layang juga ada mobil Kompas TV. 

Memang suasana jalan tol mirip dengan saat menjelang libur lebaran. Makanya banyak jurnalis yang meliput. Apalagi dengan kehadiran barang baru, tol layang itu tadi.

Km 48, ujung tol layang| Dokumentasi pribadi
Km 48, ujung tol layang| Dokumentasi pribadi
Ada lagi hal yang tidak biasa. Di jalur sebaliknya dari Cikampek ke arah Jakarta, dialokasikan sedikit bagian jalan, pas untuk jalur satu mobil, sebagai contra flow atau arus berlawanan, yang digunakan buat mobil ke arah Cikampek. Arus berlawanan ini dimulai dari km 47 sampai km 61.

Saya ingin singgah di rest area km 50, namun tidak jadi, karena mobil yang mau masuk sudah meluber,antre sejak 1 km sebelumnya.

Baru di rest area km 57 saya bisa ke toilet. Setelah itu sempat melihat buku-buku yang dijual pedagang di bawah tenda di depan pintu toilet. 

Kondisi jalan baru sepenuhnya lancar setelah pemisahan jalur ke Bandung di km 66. Sekitar jam 13.45 baru saya sampai di Jatinangor.

Saya mengeluarkan ongkos tol Rp 63.500. Pembayaran ini terbagi dua, Rp 15.000 di gerbang tol km 65 (Kalihurip Utama) dan di Cileunyi Rp 48.500. Namun saat pulang ke Jakarta, pembayaran dilakukan sekaligus di Kalihurip Utama sebesar Rp 63.500. 

Gerbang pembayaran tol Kalihurip| Dokumentasi pribadi
Gerbang pembayaran tol Kalihurip| Dokumentasi pribadi
Sorenya, saya langsung kembali ke Jakarta. Ketika memasuki km 60-an, terlihat bahwa sistem contra flow masih berlaku. Tapi kendaraan yang ke arah Jakarta tetap bisa memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum yang diperbolehkan.

Jam 16.20 saya kembali masuk tol layang. Saya intip di jalur sebaliknya. Jalan tol layang dari Jakarta ke Cikampek sudah lancar, tapi jalan tol bawah masih macet.

Tak ada hambatan, jam 16.50 saya sudah turun lagi dari tol layang. Kali ini hanya butuh waktu 30 menit saja. Total waktu dari Jatinangor ke Jakarta sejauh 150 km hanya 150 menit, termasuk 30 menit di tol layang. Bandingkan dengan saat berangkat, 155 menit hanya di tol layang.

Menjelang masuk tol layang| Dokumentasi pribadi
Menjelang masuk tol layang| Dokumentasi pribadi
Pengalaman saya terjebak kemacetan di jalan tol layang Japek II pada Sabtu pagi itu terkonfirmasi dari headline harian Kompas, Minggu, 22 Desember 2019.

Sejumlah perbaikan akan dilakukan pengelola jalan tol, antara lain pelebaran jalan sebelum keluar tol layang. Kejadian macet parah diharapkan tidak terulang pada libur lebaran mendatang.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Adapun bagi para pengguna jalan yang bermaksud bepergian melalui jalur Pantura, kembali diingatkan untuk cermat menentukan pilihan, mau lewat jalan yang mana, terutama di saat liburan panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun