Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampanye Anti Bullying di Sekolah, Seberapa Efektif?

29 Januari 2020   00:07 Diperbarui: 29 Januari 2020   00:13 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye anti bullying di Surabaya (dok. faktualnews.co)

Peristiwa bunuh diri salah seorang siswi SMP di Jakarta baru-baru ini, sungguh membuat kita prihatin. Langsung atau tidak langsung, tentu pihak sekolah akan terkait, karena tindakan bunuh diri tersebut terjadi di lingkungan sekolah.

Memang belum tentu aksi targis tersebut diakibatkan si korban mendapat tindakan kekerasan dari teman-teman sekolah atau gurunya. Belum tentu juga karena ada praktik bullying (perisakan) di sekolah tersebut.

Sebetulnya sekarang ini kampanye anti perisakan di berbagai sekolah, cukup sering dilakukan. Sebagai contoh, kebetulan saya ada keperluan mendatangi sebuah SMA Negeri di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. 

Di ruang tunggu untuk tamu terdapat dua poster yang merupakan alat kampanye agar di sekolah tidak terjadi praktik perisakan.

Salah satu posternya dengan judul dalam tulisan besar "Stop Bullying" cukup mencolok mata. Tidak begitu jelas apakah ini kreativitas pihak sekolah atau poster yang didrop dari  dinas pendidikan yang membawahi sekolah-sekolah di Jakarta Selatan.

Di bawah judul poster itu, cukup jelas apa yang dimaksud dengan bullying tersebut. Ada yang bersifat verbal seperti meledek, mencaci maki, menyindir, fitnah, dan sebagainya.

Ada pula yang bersifat fisik. Contohnya memukul, mendorong, menjegal, menghancurkan barang, dan tindakan fisik lainnya. Ada yang bersifat sosial seperti mengisolasi, mengabaikan dan menghindar.

Terakhir ada yang bersifat cyber bullying, misalnya teror melalui media sosial, telepon, SMS atau pesan pendek. Hal ini bisa berupa tulisan, gambar, video, suara, dan sebagainya.

Kemudian ada satu poster lagi dengan judul "Kawal Sekolah Aman, Sekolah Ramah Anak". Di bawahnya tercantum imbauan untuk jangan membiarkan aksi kekerasan seperti penganiayaan, pelecehan, pencabulan, pemerasan, tawuran, bullying, dan tindak kekerasan lainnya. 

Jika terdapat hal-hal di atas, para siswa diminta melaporkannya melalui nomor call center 112, yang merupakan nomor pengaduan bagi korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Ternyata dari penelusuran di media daring, kampanye sejenis lumayan banyak dilakukan di berbagai sekolah di seluruh penjuru tanah air.

Bahkan di Tegalsari, Surabaya, pernah menampilkan "juru kampanye" dari berbagai instansi, antara lain Danramil, Kapolsek, dan Camat, yang mengumpulkan siswa di sebuah sekolah.

Tapi masalahnya adalah kenapa masih saja kita membaca berita tentang terjadinya tindakan kekerasan atau perisakan di sekolah?

Bahkan tidak jarang pula tindakan kekerasan yang terjadi adalah tindakan kekerasan seksual. Ironisnya ada oknum guru sebagai pelakunya.

Bukan hanya di sekolah, namun juga terjadi di kampus perguruan tinggi yang para pelakunya tentu sudah dewasa dari sisi usia.

Jangan-jangan kita memang hanya suka memakai slogan saja dan merasa bila sudah meneriakkannya atau memasang posternya, maka dianggap sudah selesai.

Poster Stop Bullying di sebuah SMA di Jakarta Selatan (dok pribadi)
Poster Stop Bullying di sebuah SMA di Jakarta Selatan (dok pribadi)
Namun demikian, meskipun kita belum tahu seberapa efektif kampanye yang dilakukan oleh sekolah-sekolah tersebut, hal ini tetap diperlukan.

Hanya saja akan lebih bagus bila tingkat keberhasilannya dipantau oleh tim sekolah. Jika dinilai masih belum seperti yang diharapkan, maka ditambah dengan cara lain.

Agar bisa dinilai secara lengkap, tak kalah pentingnya bagaimana agar setiap siswa yang merasa dirisak, bersedia untuk melaporkan ke tim sekolah

Langkah persuasif yang bersifat one on one, perlu pula dilakukan, dengan mengajak diskusi dari hati ke hati, khusus bagi siswa yang diketahui pernah merisak temannya atau berpotensi untuk merisak.

Soalnya, biasanya yang jagoan merisak mungkin beberapa orang saja, tapi sangat berpengaruh, sehingga yang lain ikut-ikutan.

Jadi, metode kampanye yang bersifat umum, akan lebih bagus bila digabung dengan metode khusus yang ditujukan bagi siswa tertentu saja.

Untuk itu para guru harus betul-betul mengenal karakter para muridnya satu persatu. Atau setiap guru yang menjadi wali kelas harus tahu di kelas itu siapa saja yang suka merisak teman-temannya.

Perlu diingat, para remaja menghabiskan waktu sehari-harinya di sekolah, bisa lebih lama ketimbang waktu di rumah, terutama bagi yang di sore hari masih ada kegiatan ekstrakurikuler. Maka soal perisakan di sekolah harus dianggap masalah serius.

Semoga tidak ada lagi para pelajar dan mahasiswa yang melakukan tindakan fatal seperti bunuh diri. Pun kita berharap para remaja tidak ada yang depresi, mogok ke sekolah atau melakukan hal yang merugikan masa depannya, yang berarti juga merugikan masa depan bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun