Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah agenda rutin bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), termasuk PT yang dimiliki oleh negara. Sebagian besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah berbentuk PT.
Ada yang disebut dengan RUPST (RUPS Tahunan) yang agenda utamanya adalah pengesahan laporan keuangan tahunan perusahaan, termasuk pembagian laba tahunan.
Bila RUPST sudah berlangsung, namun di tahun yang sama masih diperlukan RUPS lagi seperti untuk merombak kepengurusan, maka dapat dilakukan RUPSLB (RUPS Luar Biasa).
Nah, sejak Kementerian BUMN dipimpin oleh Erick Thohir, tanpa menunggu waktu lama, beberapa BUMN telah mengadakan RUPSLB dalam rangka perombakan pengurus.Â
Hal tersebut terjadi antara lain di Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara, Pertamina, Perusahaan Listrik Negara, dan sebagainya.
Sebetulnya, pergantian pengurus bisa juga dijadikan salah satu agenda dalam RUPST. Tapi berarti harus menunggu pada tahun 2020, biasanya sekitar bulan Maret, setelah laporan keuangan 2019 selesai diaudit akuntan publik.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas soal perombakan pengurus BUMN. Tapi ada yang menggelitik, Erick Thohir membuat kebijakan yang melarang BUMN memberikan suvenir pada saat RUPS.
Seperti diberitakan kompas.com (8/12/2019), larangan dimaksud dituangkan dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-8/MBU/12/2019 yang ditetapkan tanggal 5 Desember 2019.
Sebetulnya bagi perusahaan yang berstatus Tbk. (singkatan dari "terbuka", sahamnya diperjualbelikan di bursa saham), menyediakan suvenir saat RUPS merupakan hal yang lazim.
Soalnya jumlah pemegang sahamnya relatif banyak, dan agar menarik bagi mereka untuk datang, disediakanlah suvenir.Â
Bila pemegang saham yang datang tidak memenuhi kuorum (jumlah minimal yang diatur dalam anggaran dasar perusahaan), maka RUPS tidak sah untuk mengambil keputusan.
Suvenir saat RUPS biasanya berupa barang-barang promosi, yang diserahkan dalam sebuah goodie bag. Barang promosi itu contohnya berupa payung lipat, termos kecil, mug, pulpen, buku agenda, kalender, dan sebagainya.
Tentu tidak semua barang tersebut diberikan sekaligus. Setiap RUPS lazimnya hanya terdapat satu atau dua barang saja. Jika tidak disediakan waktu khusus buat rehat kopi, snack box termasuk air mineral, dimasukkan pula ke dalam goodie bag tersebut.
Tapi kalau untuk makan siang berupa prasmanan, sudah pasti disediakan. Bila RUPS berlangsung sejak pagi, akan diakhiri dengan makan siang. Bila RUPS berlangsung siang hari, akan diawali dengan makan siang.
Ada memang sebagian pemegang saham yang mayoritas adalah ibu-ibu setengah baya, yang motifnya datang ke RUPS untuk makan enak. Bahkan sebagian ibu-ibu itu tidak segan membawa tas besar untuk menampung makanan yang bisa dicomot untuk dibawa pulang.
Sebetulnya bagi pemegang saham yang serius ikut RUPS, hal pertama yang dimintanya adalah buku annual report perusahaan. Buku ini demikian tebal, biasanya sekitar 500 halaman, sehingga kalau tidak diminta, tidak diberikan oleh panitia RUPS.Â
Namun kenyataannya memang ada mereka yang bermodal punya 1 atau 2 lot saham (1 lot terdiri dari 100 lembar) mungkin dengan nilai beberapa ratus ribu rupiah saja, motifnya datang ke RUPS untuk dapat suvenir dan makan enak.
Nah kembali ke soal larangan Menteri BUMN, setelah dicermati, ternyata bagi BUMN yang sudah berstatus go public, larangan ini tidak berlaku.
Perlu diketahui, saat ini sudah banyak BUMN yang sahamnya dapat dimiliki masyarakat. Namun demikian persentase kepemilikan saham mayoritas masih berada di tangan pemerintah.Â
Soalnya jumlah saham yang dilepas ke publik tidak sampai 50 persen. Dengan demikian pemerintah tetap dapat memilih orang yang dianggap tepat buat menjadi pengurus BUMN tersebut.
Namun tetap diperlukan kehadiran pemegang saham publik setiap BUMN yang berstatus Tbk itu menggelar RUPS. Untuk itu masih diperlukan suvenir sebagai pemanis.
Sedangkan untuk BUMN yang belum Tbk, meskipun tergolong besar seperti Pertamina dan PLN, memang rasanya tidak perlu memberikan suvenir. Toh yang disebut pemegang saham itu hanya pejabat Kementerian BUMN.
Memberi suvenir kepada pejabat kementerian tentu tidak tega kalau hanya berupa barang promosi. Tapi kalau yang dijadikan suvenir adalah barang mahal, salah lagi, bisa dinilai sebagai gratifikasi.
Maka jelas larangan tersebut sudah tindakan yang tepat. Tidak saja RUPS menjadi lebih hemat biayanya, namun juga sesuai dengan tata kelola yang baik.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H