Maksudnya, anggota Dekom dibagi atas beberapa komite, namun anggota setiap komite bukan hanya dari komisaris saja. Ada para ahli yang dikontrak secara khusus untuk memperkuat komite di atas.
Untuk KA sebagai misal, biasanya terdiri dari 5 atau 6 orang, yang terdiri dari 3 orang komisaris dan 2 atau 3 orang ahli yang menjadi anggota independen yang sifatnya membantu komisaris.Â
Khusus bagi bank-bank yang memiliki sejumlah anak perusahaan, wajib pula membentuk Komite Tata Kelola Terintegrasi (KTKT) untuk memastikan tata kelola antar induk dan semua anak perusahaan telah berjalan dengan baik.Â
Anggota KTKT merupakan gabungan antara sebagian komisaris di induk perusahaan dan salah satu komisaris di masing-masing anak perusahaan. KTKT juga dibantu oleh beberapa pakar yang dikontrak untuk beberapa tahun.
Nah, kemudian di BUMN yang bukan perbankan pun, saat ini telah pula punya KA yang membuat Dekom lebih terbantu dalam mengawasi sepak terjang Direksi dan jajarannya.Â
Tidak hanya KA, biasanya juga dibentuk KPR yang membantu Dekom dalam memantau apakah mitigasi risiko di perusahaan telah berjalan dengan baik.
Masalahnya adalah, pada umumnya di banyak BUMN, Dekom tidak punya keberanian sekiranya berniat memberikan pendapat yang ekstrim pada Direksi, lebih khusus lagi pada direktur utama.
Hal itu terutama karena selama ini kemampuan Dekom dalam menguasai seluk beluk bisnis perusahaan yang kalah jauh dibanding kemampuan Direksi.
Secara gengsi pun, Direksi BUMN lebih di atas angin ketimbang Dekom. Berbeda halnya dengan perusahaan swasta milik konglomerat, di mana Dekom yang biasanya adalah pemilik atau keluarga pemilik, sangat ditakuti Direksi.
![dok. edusaham.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/12/06/0-5de9bafad541df5bbd2711e2.jpg?t=o&v=555)
Makanya banyak Dekom yang cari aman saja, tidak ingin frontal berhadapan dengan direktur utama. Kecuali kesalahan sang dirut sangat fatal, apa boleh buat pasti Dekom mau tak mau mengambil langkah tegas.