Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komunikasi antar Teman, "Nggak Begitu" atau "Ya Tapi"

8 Desember 2019   00:10 Diperbarui: 8 Desember 2019   12:24 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: theessentialtools.com

Kenyamanan saya bekerja dalam sebuah tim yang terdiri dari 6 orang dengan kedudukan yang setara, sedikit terusik dengan masuknya seorang anggota baru, menggantikan seorang anggota lama yang mengundurkan diri karena sakit kronis.

Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa di antara kami ada seseorang yang terkenal vokal dalam berbicara. Ia sering melontarkan pendapat yang kalau dibantah oleh yang lain, akan mengakibatkan debat kusir yang emosional, persis gaya debat antar politisi di layar kaca.

Makanya selama ini terhadap si vokalis itu, saya dan juga teman lain, sering mengiyakan terlebih dahulu pendapat si Heni Simanjuntak, nama vokalis tersebut.

Dari namanya, ketahuan kalau ia orang Batak. Tapi saya tidak mengatakan bahwa orang Batak pasti vokalis, karena ada banyak teman Batak saya yang "halus".

Jika si Heni itu ngomong soal di luar pekerjaan, seperti mengomentari berita yang lagi viral di media sosial, saya sepenuhnya membiarkan saja. 

Walaupun dalam hati ada yang tidak saya setuju, rasanya tidak perlu saya kemukakan, demi kekompakan bersama. Toh menurut saya, kebebasan berpendapat adalah hak semua orang.

Namun bila Heni berkomentar tentang tugas kantor, atau lebih khusus lagi yang menyerempet apa yang saya kerjakan, tentu saya harus menunjukkan sikap.

Tapi tetap saja pola dasar gaya komunikasi saya tidak membantah secara frontal. Dalam hal ini, saya memakai rumus "ya tapi".

Maksudnya, awalnya saya akan bilang "ya", dengan mengulang kembali pernyataannya. Kemudian saya ulas dulu hal yang saya sepakat.

Lalu untuk hal yang saya tidak sepakat, saya sampaikan pula bahwa meskipun saya bisa memahami pendapatnya yang melihat dari sisi tertentu, saya tambahkan agar ia juga mempertimbangkan untuk melihat dari sisi yang saya lihat.

Biasanya setelah itu, terlepas apakah Heni sepenuhnya menerima pandangan saya atau tidak, yang jelas gayanya yang keras jadi mulai melunak.

Begitulah selama ini kami berkumpul dan bekerja. Relatif saling memahami dengan senda gurau seperlunya sekadar menghangatkan suasana. 

Yang penting pekerjaan masing-masing dapat diselesaikan dengan lancar. Demikian pula pekerjaan yang bersifat tanggung jawab bersama secara kolektif, juga lancar.

Nah apa daya, sejak teman baru yang bernama Jeki bergabung bersama kami, suasana jadi cenderung berisik dengan perdebatan adu kekerasan suara.

Masalahnya, si Jeki ini memakai pola komunikasi bergaya "nggak begitu". Maksudnya apapun yang dikatakan Heni, respon awal Jeki adalah membantah dengan mengatakan; "nggak begitu, bu Heni".

Bukan Heni namanya kalau tidak langsung memotong pembicaraan orang lain yang menyangkal pendapatnya sebelumnya, dengan intonasi yang semakin keras.

Maka saling bersahut-sahutan lah mereka berdua. Sedangkan saya dan teman lain pura-pura tidak mendengar. Ingin saya berkonsentrasi pada tugas yang lagi saya kerjakan, tapi jujur saja saya terganggu dengan pertengkaran antar vokalis lama dengan vokalis pendatang baru itu.

Parahnya, Jeki suka mencari dukungan ke orang lain dalam rangka membantah pernyataan Heni. Biasanya begitu Jeki tersudut, ia minta pendapat saya dengan bertanya; "betul kan pak Irwan?"

Wah, ini malah yang paling tidak saya sukai, diminta memilih berpihak Jeki atau Heni. Saya memilih diam. Atau bila harus ngomong saya akan ambil sisi positif pendapat Jeki dan sisi positif pendapat Heni.

Bila pendapat Heni dan Jeki sangat bertolak belakang, dan saya diminta Jeki untuk menanggapi, saya akan bilang bahwa kita harus menghargai perbedaan pendapat. Di situlah perlunya agree to disagree.

Maka dapat dimengerti bila banyak perkongsian dalam bisnis atau usaha lain yang pecah, bila punya dua vokalis yang suaranya tidak padu.

Dalam dunia politik, fenomena matahari kembar, mungkin agak mirip dengan dua vokalis yang saling ingin mengalahkan. Ini jelas sesuatu yang tidak sehat secara organisasi.

Atau silahkan teliti perkembangan banyak grup musik di tanah air. Kalau sudah ada dua orang frontman, alamat salah satunya akan ada yang keluar. Salah-salah malah grupnya bisa bubar.

Ngomong-ngomong, bagi anda yang lagi membaca tulisan ini, apakah anda dalam berkomunikasi dengan teman lebih sering menggunakan rumus "ya tapi" atau "nggak begitu"? 

"Ya tapi" lebih terkesan menghargai dulu pendapat teman, baru setelah itu menyampaikan pendapat kita.  Sebaliknya "nggak begitu" lebih terkesan menolak mentah-mentah pendapat teman.

Jangan anggap remeh soal yang kelihatan sepele itu. Pola komunikasi antar teman sangat menentukan kesuksesan suatu teamwork.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun