Begitulah selama ini kami berkumpul dan bekerja. Relatif saling memahami dengan senda gurau seperlunya sekadar menghangatkan suasana.Â
Yang penting pekerjaan masing-masing dapat diselesaikan dengan lancar. Demikian pula pekerjaan yang bersifat tanggung jawab bersama secara kolektif, juga lancar.
Nah apa daya, sejak teman baru yang bernama Jeki bergabung bersama kami, suasana jadi cenderung berisik dengan perdebatan adu kekerasan suara.
Masalahnya, si Jeki ini memakai pola komunikasi bergaya "nggak begitu". Maksudnya apapun yang dikatakan Heni, respon awal Jeki adalah membantah dengan mengatakan; "nggak begitu, bu Heni".
Bukan Heni namanya kalau tidak langsung memotong pembicaraan orang lain yang menyangkal pendapatnya sebelumnya, dengan intonasi yang semakin keras.
Maka saling bersahut-sahutan lah mereka berdua. Sedangkan saya dan teman lain pura-pura tidak mendengar. Ingin saya berkonsentrasi pada tugas yang lagi saya kerjakan, tapi jujur saja saya terganggu dengan pertengkaran antar vokalis lama dengan vokalis pendatang baru itu.
Parahnya, Jeki suka mencari dukungan ke orang lain dalam rangka membantah pernyataan Heni. Biasanya begitu Jeki tersudut, ia minta pendapat saya dengan bertanya; "betul kan pak Irwan?"
Wah, ini malah yang paling tidak saya sukai, diminta memilih berpihak Jeki atau Heni. Saya memilih diam. Atau bila harus ngomong saya akan ambil sisi positif pendapat Jeki dan sisi positif pendapat Heni.
Bila pendapat Heni dan Jeki sangat bertolak belakang, dan saya diminta Jeki untuk menanggapi, saya akan bilang bahwa kita harus menghargai perbedaan pendapat. Di situlah perlunya agree to disagree.
Maka dapat dimengerti bila banyak perkongsian dalam bisnis atau usaha lain yang pecah, bila punya dua vokalis yang suaranya tidak padu.
Dalam dunia politik, fenomena matahari kembar, mungkin agak mirip dengan dua vokalis yang saling ingin mengalahkan. Ini jelas sesuatu yang tidak sehat secara organisasi.