Wacana agar ketentuan yang mengatur maksimal masa jabatan seorang presiden diubah, sehingga Jokowi dimungkinkan menjabat lagi untuk periode ketiga pada tahun 2024 mendatang, semakin kuat berhembus.
Tapi untunglah Presiden Jokowi cepat memberikan reaksi tegas dengan menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut Jokowi, wacana tersebut sengaja digulirkan oleh pihak-pihak tertentu yang diduga untuk cari muka kepada Jokowi atau malah mungkin juga ada yang berniat menjerumuskan Jokowi.
Bahkan Presiden Jokowi menyebutkan kemungkinan si pengusul perubahan masa jabatan itu berniat menampar mukanya.Â
Saking geramnya, Jokowi sampai mengatakan lebih baik usulan amandemen UUD 1945, yang di dalamnya termasuk soal tata cara pemilihan presiden, tidak usah dilanjutkan.
Memang kalau mencermati pemberitaan yang berkembang di media massa, terkait tata cara pemilihan presiden, telah muncul wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR seperti dulu di era Orde Baru dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Wacana tersebut jelas bertentangan dengan apa yang susah payah diperjuangkan masyarakat banyak pada saat dimulainya era reformasi tahun 1998 dulu.Â
Pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dan maksimal untuk masa jabatan selama dua periode adalah buah manis pejuang reformasi.
Jelas di pandang dari sisi demokrasi, terlepas dari masih ditemukan kelemahan dalam implementasinya, cara yang berlaku sekarang jauh lebih baik, karena fungsi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sangat terasa.
Adapun tentang pembatasan masa jabatan presiden hanya selama dua periode atau selama 10 tahun, bertujuan agar tidak ada penguasa yang cenderung bertindak otoriter.
Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi membuat kedudukan presiden terlalu kuat seperti yang diperlihatkan Presiden Soeharto yang berkuasa selama sekitar 32 tahun.Â
Ketika itu tiak ada kekuatan pengontrol, termasuk anggota parlemen yang merupakan wakil rakyat, lebih banyak duduk manis dan dapat julukan "4D" yang maksudnya: datang, duduk, diam, dan duit.