Hari ini Senin (25/11/2019) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi memangku jabatan sebagai Komisaris Utama (Komut) dari sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sangat strategis, yakni Pertamina.
Dari berita yang disiarkan Kompas TV, Senin sore (25/11/2019), disebutkan bahwa Menteri BUMN Erick Thohir meminta Ahok untuk mundur dari partai politik (parpol).Â
Seperti diketahui, Ahok yang sudah beberapa kali berpindah partai, saat ini berlabuh di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun Ahok berstatus sebagai anggota, bukan pengurus.
Menurut sumber Kompas TV, ketentuan yang berlaku di BUMN sebetulnya hanyalah tidak membolehkan komisaris merangkap sebagai pengurus parpol.
Memang hal ini telah menimbulkan polemik sejak beberapa hari yang lalu. Dilansir dari detik.com (23/11/2019), Erick bermaksud untuk menjaga independensi, sehingga siapapun yang jadi komisaris BUMN harus bersedia melepaskan diri dari parpol apabila ia berasal dari parpol.
Namun pernyataan Erick tersebut dibantah oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, yang mengatakan bahwa Ahok tidak harus mundur dari partai.
Hasto punya alasan yang cukup kuat, karena berdasarkan UU BUMN, hanya pengurus partai seperti yang menjabat pada pimpinan dewan atau pimpinan partai yang kalau ditunjuk jadi komisaris BUMN, harus mundur dari jabatannya di partai.
Lagipula Hasto menambahkan bahwa selama ini kader PDIP bisa memisahkan antara kepentingan partai dan pengelolaan negara. Ahok pun diyakini akan bekerja demi kepentingan bangsa.Â
Jelaslah masalahnya bahwa secara ketentuan, Ahok tidak harus mundur dari keanggotaannya di PDIP. Hanya Erick Thohir sebagai Menteri BUMN ingin menerapkan standar independensi yang lebih tinggi ketimbang yang tercantum di UU BUMN.
Tentu tujuan Erick baik-baik saja. Namun akan lebih bagus kalau ketentuan hukumnya yang harus diubah terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan polemik.
Tidak sinkron rasanya, kalau para menteri saja boleh merangkap sebagai pengurus parpol, bahkan ada yang ketua umum partai seperti Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar atau Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra.
Kembali ke kasus Ahok, karena penunjukannya sebagai Komut Pertamina datang dari Menteri BUMN dalam kapasitas individunya, bukan karena kader PDIP, tentu yang terbaik adalah mematuhi permintaan Erick Thohir tersebut.
Namun yang kebakaran jenggot barangkali adalah PDIP. Salah seorang kader rekrutan barunya yang sangat potensial, tidak bisa lagi diharapkan kontribusinya.
Berkaca dari periode-periode sebelumnya, sudah bukan rahasia lagi, ada yang ditunjuk jadi komisaris BUMN bukan karena kapasitas individunya, tapi diduga karena lobi pihak partai koalisi pendukung pemerintah dengan Menteri BUMN.
Dulu, di Bank Rakyat Indonesia (BRI) pernah punya komisaris yang ditengarai sebagai orang partai, namun tidak gampang untuk membuktikan status keanggotaannya di partai.
Yang dimaksudkan adalah Sunarsip dan Adhyaksa Dault yang konon berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), komisaris BRI di era pemerintahan SBY. Ketika itu PKS bergabung di koalisi pemerintah.
Kurang jelas apakah bila seseorang terpilih jadi komisaris karena pertimbangan bagi-bagi kekuasaan atau lobi-lobi politik, akan ada kewajiban menyetor sebagian gajinya untuk kas partai atau tidak.
Tentu hal itu menjadi rahasia partai, dan masing-masing partai bisa jadi punya kebijakan yang berbeda. Namun jelas bahwa besarnya pendapatan seorang komisaris BUMN, sungguh menggiurkan.
Jadikah Ahok mundur dari PDIP? Kita tunggu saja perkembangan berikutnya. Mundur atau tidak, diharapkan keberadaan Ahok akan meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik di Pertamina. Pada gilirannya diyakini hal ini akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI