Arief Poyuono, salah seorang pimpinan Partai Gerindra, menjadi narasumber Kompas TV pada siaran berita Kamis sore, 14/11/2019. Topiknya seputar jabatan yang akan diberikan oleh Kementerian BUMN kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Arief mendukung Ahok untuk menjadi Direktur Utama di PLN atau Pertamina. Namun penyiar Kompas TV kemudian bertanya, bagaimana kalau Ahok jadi komisaris utama?
Nah ini dia yang menarik. Menurut Arief, percuma saja bila Ahok jadi komisaris utama BUMN, karena itu jabatan yang tidak penting, hanya untuk cari makan.
Tolong dicatat, kalimat percuma di sini tidak datang dari kelompok yang tidak menyukai Ahok. Jadi harap dibaca sebagai terlalu "enteng" kalau Ahok hanya diberi jabatan komisaris. Gak ngefek, sehingga potensi yang dipunyai Ahok terbuang percuma.
Mungkin Arief terlalu underestimate dengan fungsi komisaris yang sebetulnya sangat strategis. Bukankah komisaris, apalagi komisaris utama, adalah kuasa tertinggi pemegang saham?
Maka di perusahaan swasta, seorang komisaris utama sangat ditakuti. Semua anggota direksi harus pintar-pintar mengambil hatinya, kalau tidak ingin ditendang.
Tapi itu kan di perusahaan swasta. Kalau di BUMN belum terdengar ada perusahaan yang berkinerja luar biasa karena kehebatan komisarisnya. Pasti yang dipuja puji adalah direktur utamanya.Â
Begitu pula bila sebuah BUMN kinerjanya jeblok atau dililit kasus besar. Pasti yang dihujat direktur utama dan para direktur lainnya. Soalnya, semua juga tahu bahwa komisaris tidak ikut dalam aktivitas bisnis sehari-hari.
Terlepas dari soal Ahok, harus diakui bahwa selama ini kontribusi komisaris atas kemajuan BUMN relatif tidak terlihat. Justru bila ada komisaris yang "kuat" akan muncul fenomena matahari kembar yang membuat kondisi perusahaan kurang kondusif.
Nah, ketika komisaris utama dan direktur utama saling berbeda pendapat secara tajam, siapa yang akan terdepak? Biasanya keduanya saling melapor ke Menteri BUMN.Â
Kemudian pihak kementerianlah yang menilai laporan mana yang lebih dipercaya, tentu dengan melihat berbagai bukti di lapangan.
Dalam hal ini, lobi-lobi dan kedekatan personal dengan menteri pun, kalau bisa malah dengan Presiden, menjadi faktor yang menentukan juga. Yang lebih dekat biasanya akan selamat, yang kurang dekat akan terlempar.
Entah bermaksud agar koordinasi gampang dilakukan, kebanyakan figur komisaris BUMN memang bukan sosok yang "garang" dalam berkomentar, tapi sosok yang arif dan tahu menempatkan diri.
Jika hanya memikirkan keuntungan secara pribadi, menjadi komisaris di BUMN boleh disebut sebagai jabatan yang sangat nyaman, dalam arti gaji, tantiem, dan fasilitasnya besar, sementara pekerjaannya relatif tidak begitu sibuk, karena tidak harus berkantor setiap hari.Â
Makanya pekerjaan sebagai komisaris bisa dirangkap dengan pekerjaan lain seperti jadi pejabat di kementerian atau jadi pengajar di perguruan tinggi.Â
Kebanyakan BUMN punya hari tertentu di mana komisaris melakukan rapat. Artinya, rata-rata komisaris masuk kantor sekali seminggu, dengan agenda rapat internal komisaris, maupun rapat bersama direksi.
Tentu topik rapat berkaitan dengan fungsi komisaris sebagai pengawas. Direksi lebih banyak memberikan laporan dan komisaris memberikan catatan atas laporan tersebut.
Jika ada surat-surat penting yang perlu ditandatangani komisaris utama, padahal bukan hari masuk kantornya, akan diantarkan ke tempat komisaris utama berada. Mungkin di kampus kalau ia seorang pengajar di perguruan tinggi, atau di kantor lain tempat pekerjaan utamanya.
Maka kalau Arief menyatakan jadi komisaris untuk "cari makan", mungkin ada benarnya. Bayangkan, masuk kantor hanya seminggu sekali, tapi gajinya sekitar separuh dari direktur yang harus masuk setiap hari kerja.
Gaji yang "hanya" separuh itu, bisa jadi lebih besar dari gaji pekerjaan utamanya sebagai dosen atau pejabat di sebuah kementerian.Â
Memang ada juga komisaris yang tidak punya pekerjaan utama, karena berstatus pensiunan atau aktivis partai yang tentu tidak menerima gaji dari partai.
Yang seperti itu akan lebih banyak mencurahkan perhatian pada pekerjaannya sebagai komisaris. Misalnya masuk kantor dua atau tiga kali seminggu.
Kembali ke soal Ahok, tak ada masalah sebenarnya, mau jadi direktur utama atau komisaris utama. Jadi direktur utama, artinya Ahok akan jadi nakhoda di BUMN yang akan ditempatinya.
Kalau jadi komisaris utama, Ahok akan jadi pengawal agar BUMN yang ditempatinya berjalan sesuai dengan yang diharapkan Kementerian BUMN. Dan ada keuntungan lain, Ahok juga punya waktu buat aktivitas lain yang bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H