Rabu pagi (13/11/2019), dalam perjalanan ke tempat kerja, saya lewat di depan Gedung Smesco, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Ada pemandangan tak biasa, antrean anak muda mengular panjang dari pintu gerbang di pinggir jalan raya sampai ke pintu masuk gedung.
Saking sesaknya, dalam satu baris terpaksa memuat banyak orang, sehingga antreannya jadi tidak rapi. Apalagi pintu masuk gedung terletak di bagian yang lebih tinggi dibandingkan gerbang komplek Smesco.
Dari penampilan mereka yang antre, segera saya paham, ini adalah acara job fair atau semacam itu. Ternyata di koran Kompas (14/11/2019) saya temukan jawabannya.Â
Rupanya Bank Central Asia yang menggelar acara job fair, atau kalau diterjemahkan, dalam bahasa Indonesia disebut bursa kerja, di Gedung Smesco tersebut.
Memang bursa kerja lagi trend sejak beberapa tahun terakhir ini. Biasanya dalam setiap pelaksanaan ada event organizer yang mengatur dan menyediakan fasilitas bagi perusahaan yang membutuhkan karyawan untuk mangkal di salah satu stand.
Nanti para pencari kerja dipersilakan memilih perusahaan mana yang disukainya atau yang diperkirakan bisa ditembusnya dalam proses seleksi yang memakai metode walk in interview.
Maka salah satu ciri job fair adalah mereka yang mengantre berpakaian rapi (tapi akhirnya banyak yang berwajah loyo karena kelelahan akibat berdesak-desakan) dan memegang map atau amplop coklat besar berisi surat lamaran dan CV masing-masing.
Bagi perusahaan yang membutuhkan karyawan, cara seperti itu tampaknya sangat menguntungkan. Cukup dalam satu hari, pihak perusahaan berhasil menjaring sekian banyak peminat yang bisa langsung dilihat penampilannya dan diwawancarai.
Jadi, kalau sebuah perusahaan membutuhkan 10 orang karyawan, bisa langsung memilih 10 terbaik dari ratusan peminat.Â
Bagi para pemburu kerja pun, dengan berkumpulnya banyak perusahaan yang mencari karyawan di satu tempat, juga lebih efisien dari sisi waktu.Â
Tapi entah kenapa, dengan kondisi demikian banyak pencari kerja yang mengantre, oleh sebagian orang dianggap kurang manusiawi. Terutama kalau terpaksa berjemur di tengah teriknya matahari.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada pula bursa kerja yang dibisniskan, contohnya dengan menarik bayaran bagi pencari kerja yang datang.
Tentu kalau ada yang seperti itu, bisa dinilai sebagai tindakan mengeksploitasi orang yang seharusnya malah dibantu.
Bagi para pencari kerja, kalau boleh memilih, tentu lebih menyukai cara online, karena tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan tidak capek mengantre. Cukup dilakukan dari rumah sepanjang punya jaringan internet.
Nantinya yang dipanggil untuk wawancara secara tatap muka hanya kandidat yang potensial saja. Umpamanya ada posisi yang lowong untuk 10 orang, perusahaan cukup memanggil 30 terbaik dari hasil seleksi online.
Namun kalau perusahaan tetap menginginkan bursa kerja dengan bertemu langsung karena ada unsur promosi yang meningkatkan citra perusahaan, tentu boleh-boleh saja.
Tapi sebaliknya panitia sudah bisa mengantisipasi membludaknya para pencari kerja. Carilah tempat yang representatif, yang kalau pun antreannya panjang, tersedia tenda pelindung yang luas.Â
Jalur antreannya harus ditata secara rapi yang diawasi oleh tenaga keamanan yang mencukupi. Siapakan pula tim kesehatan untuk berjaga-jaga bila ada yang pusing
Bila tak mampu melakukan in-person job fair yang nyaman bagi para pencari kerja, kenapa tidak pakai cara online saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H