Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Masa Depan Partai Gelora

16 November 2019   09:09 Diperbarui: 16 November 2019   18:45 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syahwat berpolitik bagi orang-orang tertentu mungkin menjadi hal yang tak bisa dibendung. Maka tak ada istilah menyerah di kamus hidup mereka. 

Setiap terjatuh, mereka segera bangun lagi. Fenomena kutu loncat yang berpindah-pindah partai, atau yang mendirikan partai baru, begitu terdepak dari partai lama, bisa dilihat dari sisi syahwat politik ini.

Namun bila pilihannya adalah mendirikan partai baru, meskipun berhasil memenuhi persyaratan administrasi sehingga diperkenankan ikut bertarung di pemilu, baik pileg, pilpres, maupun pilkada, tetap saja pilihan ini berbau spekulasi. 

Buktinya, sejak kita memasuki era reformasi, sudah tak terhitung partai yang hanya sekali saja ikut pemilu, setelah itu tiarap karena tidak mendapat kepercayaan dari rakyat.

Masalahnya, tidak ada rumus yang generik atau format yang standar yang dapat diterapkan partai baru agar terjamin kesuksesannya. 

Partai lama, dalam arti yang berdiri pada zaman orde baru, memang diuntungkan karena telah punya infrastruktur yang relatif baik ketimbang pesaingnya yang berdiri di era reformasi.

Tapi tidak semua partai lama menuai sukses. Ada 3 partai warisan Orde Baru, yakni Golkar, PPP, dan PDI. PDI pada akhirnya bertransformasi menjadi PDI Perjuangan (PDIP) karena dualisme kepengurusan partai tersebut di penghujung Orde Baru. 

Di antara ketiga partai tersebut, hanya PDIP yang sukses karena sekarang menjadi partai pemenang pemilu. Padahal selama Soeharto memerintah, PDI selalu menduduki posisi juru kunci setelah Golkar dan PPP. 

Kalau begitu apakah PDIP sukses karena jam terbangnya yang sudah lama? Tapi kenapa PPP yang sama tuanya jeblok pada pileg 2019, meski beruntung masih selamat dari ambang batas.

Lalu Golkar yang demikian perkasa selama lebih dari 30 tahun sepanjang rezim Soeharto, sekarang pecah jadi beberapa partai. 

Artinya, Golkar walaupun tetap eksis berada di papan atas, tapi kejayaannya sudah banyak tergerus karena tidak mampu mengakomodasi aspirasi semua fungsionarisnya.

Maka lahirlah Gerindra, Nasdem, dan Hanura, sebagai pecahan Golkar, karena pemimpin partai pecahan itu sebelumnya mempunyai kekecewaan terhadap Golkar dan merasa tidak punya peluang untuk memperbaikinya.

Daftar pecahan Golkar bisa diperpanjang, bila PKPI atau partai yang namanya ada kata "berkarya" yang dimotori anak-anak Pak Harto, ikut pula dihitung.

Hanya saja dari sekian banyak pecahan Golkar yang tembus ke papan atas adalah Gerindra dan Nasdem. Gerindra berhasil karena ada figur sentral seorang Prabowo Subianto.

Sedangkan keberhasilan Nasdem, kalau dibilang karena faktor individu Surya Paloh, agaknya tidak sepenuhnya tepat. Faktor promosi besar-besaran melalui media massa milik Surya Paloh tentu juga berdampak signifikan.

Partai yang baru berdiri langsung menuai sukses, juga dialami oleh Partai Demokrat, yang kuncinya berada pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena tak punya figur kuat selain SBY, peringkatnya langsung turun begitu SBY tidak lagi menjadi Presiden.

Pola Nasdem ditiru oleh Perindo, dengan terlebih dahulu mendirikan ormas yang membuka cabang di seluruh penjuru, iklan besar-besaran di media milik bosnya, terus bertransformasi jadi parpol. Nasdem sukses tapi Perindo tidak.

Barangkali kegagalan Perindo karena figur Hary Tanoesoedibjo tidak sepopuler Surya Paloh. Tapi bagi partai yang menjual sosok pendiri, akan bermasalah ketika tidak punya kader yang sama kuatnya sebagai pengganti.

Contohnya Hanura yang sempat merasakan sukses ketika masih dipegang Wiranto. Begitu ketua umumnya beralih ke Oesman Sapta Odang, langsung posisinya melorot di bawah ambang batas yang dipersyaratkan agar bisa masuk parlemen.

Nah, sekarang muncul lagi sebuah partai baru, sempalan dari PKS. Partai Gelora Indonesia, nama partai baru tersebut. Gelora bukan berarti Gelanggang Olahraga, tapi Gelombang Rakyat. 

Fahri Hamzah dan Anis Matta adalah dua tokoh utama di balik pendirian Gelora. Tapi sebagaimana PKS yang berbasiskan kader dari bawah, Gelora diperkirakan tidak akan memainkan jurus menjual figur tertentu, meskipun Fahri Hamzah lumayan populer.

Hanya saja kalau yang disasar oleh Gelora adalah kader yang selama ini loyal dengan PKS, mungkin sebagian kecil yang akan diraih, mengingat PKS terkenal punya pemilih yang setia. Ini tidak cukup memadai bagi Gelora agar bisa mencapai ambang batas minimal.

Maka mau tak mau Gelora harus melepaskan diri dari bayang-bayang PKS, salah satunya dengan tidak terlalu menonjolkan simbol Islam. 

Dalam wawancara dengan penyiar Kompas TV, Selasa pagi (12/11/2019), Fahri Hamzah mengatakan partai ini tak mau larut dalam dikotomi partai nasionalis versus partai agama. 

Artinya, partai yang diawali dengan pembentukan ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) ini, menginginkan lebih terlihat plural. 

Masalahnya, mampukah Gelora mencuri suara dari yang sebelumnya memilih PDIP, Golkar, Nasdem, Gerindra dan Demokrat yang nasionalis? Ini sangat tergantung dari ada tidaknya mantan kader partai-partai itu yang mau berpindah partai ke Gelora.

Sementara ini kalangan non-PKS yang sudah bergabung dengan Gelora, baru Deddy Mizwar yang dulunya kader Demokrat.

Fahri Hamzah dan Anis Matta harus rajin mencari figur potensial yang terbuang dari PDIP, Golkar, Gerindra atau Nasdem. Sungguh sebuah pertaruhan yang tidak gampang bagi Fahri Hamzah dan Anis Matta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun