Soalnya, tak dapat dipungkiri, sekarang ini kita mengalami krisis keteladanan. Orang-orang yang merasa dirinya mampu, terlihat berburu jabatan demi jabatan itu sendiri, bukan karena nilai-nilai yang diperjuangkannya.
Rakyat hanya didekati dan diiming-imingi ketika musim kampanye saja. Setelah itu tinggal bagi-bagi kursi dan rakyat tetap saja hidup dalam keprihatinan.Â
Apa yang pantas diteladani bila para pejabat masih berselera rendah, begitu dapat jabatan, yang terpikirkan adalah proyek apa yang bisa dimainkan. Mungkin agar pulang modal setelah habis-habisan berkampanye atau melakukan lobi-lobi politik. Mungkin pula untuk mengisi kas partai.
Justru yang jadi pahlawan saat ini adalah mereka yang bekerja dalam diam, jauh dari sorotan kamera. Ada yang berjibaku di daerah perbatasan, mengajar anak-anak setempat di sekolah yang atapnya bolong-bolong.
Demikian pula mereka yang diam-diam menanam sebatang demi sebatang pohon di area hutan atau menanam mangrove di pesisir pantai. Padahal di area lain para pengusaha berkolaborasi dengan oknum pejabat untuk membakar hutan. Semuanya demi memupuk harta.
Sungguh perilaku yang jauh dari apa yang diterapkan oleh Bung Hatta. Menjadi Wapres tidak menjadikannya bergelimang harta. Sekadar untuk membeli sepatu yang diidamkannya bermerek Bally, Bung Hatta tidak mampu.Â
Alhasil Bung Hatta harus puas dengan menyimpan guntingan iklan sepatu tersebut. Lagipula, pejabat tempo dulu punya perasaan tidak enak hati kalau penampilannya terkesan mewah, sementara tingkat kesejahteraan rakyat masih rendah.
Harusnya kalau wakil rakyat meneladani para pahlawan, area parkir Gedung DPR-RI di Senayan, Jakarta, tidak seperti arena pameran mobil mewah yang memamerkan kekayaan anggota parlemen kita. Inilah bukti betapa berjaraknya rakyat dengan wakilnya.
Biarlah para wakil rakyat asyik dengan "mainannya". Kita tidak boleh pesimis. Masih ada para pahlawan yang tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan kaum marjinal atau masyarakat yang terpinggirkan.
Memang tidak ada lagi Marsinah atau Munir. Tapi ada Butet Manurung, pejuang literasi bagi suku Orang Rimba di pedalaman Jambi. Ada pula Tri Mumpuni, pemberdaya listrik mikrohidro di lebih dari 60 lokasi terpencil di Indonesia.
Tentu masih ada lagi contoh pahlawan yang memilih menjadi social justice warrior seperti itu yang pantas menjadi teladan terutama bagi generasi muda.Â