Air minum atau sering juga disebut air putih, sampai tahun 1970-an, tak terbayang akan menjadi bisnis besar. Soalnya, air tersebut dianggap sebagai sesuatu yang gampang didapat secara gratis.
Buktinya kalau kita makan di sebuah warung makan, harga yang harus kita bayar hanya untuk makanan yang kita makan. Untuk air putih tidak dihitung, kecuali kalau kita minum teh, kopi atau jus.
Tapi siapa yang menduga bahwa sekarang ini air minum dalam kemasan (AMDK) dalam berbagai ukuran botol, menjadi bisnis bernilai triliunan rupiah per tahun, tersebar dari kota metropolitan sampai ke pelosok desa.
Di kantor, para pegawai minum AMDK, demikian pula saat rapat atau seminar di hotel atau gedung pertemuan. Anak sekolah atau mahasiswa di ranselnya terdapat AMDK. Orang yang dalam perjalanan sering singgah di warung kecil di pinggir jalan membeli AMDK.Â
Bahkan di rumah-rumah, sekalipun punya sumber air bersih yang tinggal dimasak, baik yang pakai jet pump maupun yang dialiri air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), banyak yang minum dari AMDK. Tentu ini menambah biaya sehari-hari.
Adalah AMK dengan merek Aqua yang jadi pelopor bisnis ini di Indonesia, yang dimulai pada tahun 1973. Merek ini saking terkenalnya sehingga bersifat generik. Apapun nama yang tercantum pada kemasannya, masyarakat tetap menyebutnya sebagai Aqua.
Aqua yang didirikan Tirto Utomo  awalnya menyasar ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Ide Tirto muncul karena sewaktu bekerja di Pertamina ia pernah menjamu tamu delegasi dari Amerika Serikat.Â
Ternyata ada dari tamu tersebut yang terkena diare, tidak cocok dengan air rebusan, karena terbiasa minum air yang disterilkan. Tirto yang akhirnya berhenti dari Pertamina, belajar khusus ke Thailand tentang cara mensterilkan air.
Lama kelamaan tidak hanya orang asing yang jadi pelanggan AMDK. Masyarakat banyak yang dulunya memandang aneh ada orang yang minum AMDK, akhirnya malah ketagihan. Sehingga AMDK pun sekarang sudah menjadi kebutuhan pokok.
Makanya kalau kita makan bakso, sate, siomay, atau makanan lainnya di warung gerobak pinggir jalan, tak ada lagi disediakan air putih gratis. Tapi ada penjual AMDK di sebelahnya yang siap menguras kantong kita.
Saat ini persiangan bisnis AMDK terbilang ketat. Coba perhatikan, ada banyak sekali merek AMDK dari yang berharga murah sampai yang mahal. Masing-masing punya pelanggan setia.
Bahkan ada pula bisnis air mineral dalam kemasan galon yang dapat diisi ulang dengan merek yang kurang dikenal dan diproduksi dalam skala terbatas di lokasi tertentu.
Ada pula merek AMDK dalam kemasan botol 600 ml yang cukup dominan hanya di suatu daerah saja, tapi belum berhasil menembus pasar nasional.
Sebagi contoh, bila kita berkunjung ke Sumatera Barat, sangat mudah mendapatkan AMDK dengan merek SMS. Di hotel-hotel pun biasanya AMK merek ini telah tersedia di kamar.
Tapi baru-baru ini AMDK SMS tersebut tersandung suatu kasus penipuan publik. Akibatnya, seperti diberitakan langgam.id (6/11/2019), pihak Polda Sumatera Barat menyegel gudang dan pabrik SMS.Â
Pada label AMDK SMS tersebut tercantum bahwa sumber airnya berasal dari mata air Gunung Singgalang. Namun realitanya, berasal dari PDAM yang bersumber dari mata air Lubuk Bonta, Padang Pariaman.
Nah, belajar dari kasus di Sumbar, jika dilakukan pemeriksaan terhadap AMDK di berbagai daerah, kemungkinan di tempat lain pun akan ditemukan pula kasus serupa.Â
Mereka yang sering berkeliling dari satu kota ke kota lain di tanah air, pasti sering menemukan AMDK produksi lokal. Tak sedikit di antaranya yang mencantumkan tulisan kecil yang menjelaskan bahwa sumber airnya dari pegunungan setempat.
Kalimat itu tampaknya penting sebagai bagian dari strategi pemasaran. Bagi yang punya pengalaman mendaki gunung tentu bisa membayangkan betapa beningnya air yang mengalir di sana, yang membuat kita bisa berkaca.
Kesan alami, bersih dan segar, itulah yang ingin dicitrakan oleh AMDK yang mengaku diolah dari mata air di pegunungan. Tak masalah kalau memang betul. Tapi kalau mengarang-ngarang saja, ini sudah termasuk penipuan publik.
Sayangnya, biasanya kalau tidak ada pengaduan dari masyarakat, pihak berwajib jarang melakukan pemeriksaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H