Maka wajar kalau serial televisi produksi Malaysia yang banyak penggemarnya di Indonesia, Ipin Upin, tampil memakai teks BI. Sebaliknya, sinetron kita pun yang ditayangkan televisi Malaysia, juga diberi teks BM Malaysia. Banyak pula buku Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia.
Tapi saudara-saudara kita di Riau, Jambi dan Kalbar yang beretnis Melayu berkemungkinan besar tidak membutuhkan terjemahan itu. Namun jumlah mayoritas warga Indonesia tentu membutuhkannya.
Perkembangan BI berformat gado-gado itu berpengaruh pula terhadap bahasa daerah. Terlihat kecenderungan remaja, khususnya yang tinggal di perkotaan, sekarang di rumahnya sendiri menggunakan BI, bukan bahasa ibunya. Â
Akibatnya, warga Kepulauan Riau yang pada generasi sebelumnya berbahasa persis sama dengan warga Johor Malaysia, pada generasi muda sekarang mulai terbelah dua, yang satu pakai BM versi Indonesia, yang satu lagi pakai BM versi Malaysia.
Perkembangan pesat BI yang makin jauh meninggalkan BM dapat dilihat dari perkembangan KBBI. Jika pada tahun 2015 KBBI punya 90.000 lema atau kata, pada tahun 2018 sudah menjadi 109.213 lema (liputan6.com, 10/4/2018).
Masalahnya, dari sekian banyak lema tersebut, untuk kata-kata baru, yang lebih lazim dipakai masyarakat adalah yang berasal dari bahasa Inggris, bukan terjemahannya yang digali dari bahasa lokal.
Remaja sekarang dalam menggunakan berbagai aplikasi daring, lebih menyukai pengaturan berbahasa Inggris, meskipun penyedia aplikasi juga menyediakan pilihan pengaturan dalam bahasa Indonesia. Alasannya, yang dalam bahasa Indonesia terasa aneh dan takut salah mengerti.Â
Akankah bahasa gado-gado ini kita nikmati saja, biarkan seperti air mengalir, atau perlu kampanye yang lebih gencar agar unsur lokalnya lebih menonjol?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H