Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengawasan Penggunaan Medsos dan Dilema bagi Dosen PTN

19 Oktober 2019   09:08 Diperbarui: 19 Oktober 2019   09:18 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tindakan tegas di lingkungan militer dengan mencopot jabatan dari pejabat yang istrinya tidak bijak dalam menggunakan media sosial (medsos), merupakan shock therapy bagi yang lain, khususnya yang menerima gaji dari anggaran negara. 

Sekarang harus berhati-hati, tak bisa lagi secara spontan memposting sesuatu di medsos. Timbang dulu akibatnya, apakah akan mendatangkan hal yang negatif? Tentu sangat riskan bila karir yang dijalani sekian lama menjadi taruhannya.

Apalagi setelah itu beredar berita tentang rencana pemerintah untuk mengawasi akun medsos semua Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditafsirkan bahwa ASN tidak boleh mengkritisi pemerintah.

Padahal melakukan kritik sepanjang bersifat konstruktif, justru diperlukan sebagai masukan untuk tindakan perbaikan. Hanya saja mungkin pemerintah menghendaki kritik tersebut tidak lagi dilakukan melalui medsos karena rawan menggelinding menjadi bola liar.

Berbicara tentang ASN, yang selama ini termasuk rajin menyampaikan pandangan yang bisa jadi berseberangan dengan pemerintah, adalah ASN dari kelompok dosen yang jumlahnya pasti banyak sekali.

Soalnya sekarang Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tempat para dosen berstatus ASN mengabdi, jumlahnya juga selalu bertambah. Di sebuah ibu kota provinsi saja, rata-rata punya beberapa PTN. 

Bahkan sekarang banyak pula kota kabupaten yang punya universitas negeri. Belum lagi yang berupa politeknik yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Selain itu, juga ada dosen yang berstatus ASN tapi diperbantukan untuk menjadi pengajar di Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Selama ini, dengan dalih mempunyai kebebasan akademik, seorang dosen relatif tidak pernah takut untuk melancarkan kritik kepada pemerintah, atau mengkritisi kebijakan Presiden. 

Seperti sekarang, banyak dosen PTN yang meminta Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK, di antaranya dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, yang kerap menjadi narasumber untuk pemberitaan di media massa.

Bukankah itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap pemerintah yang setuju dengan revisi UU KPK? Tapi oleh Feri Amsari dinilai malah melemahkan KPK, dan Perppu merupakan cara yang tepat untuk mencegah UU KPK hasil revisi tersebut berlaku.

Nah, terhadap pandangan seperti itu, baik disampaikan di depan jurnalis untuk dimuat di media massa, pada saat talk show di televisi, melalui tulisan yang bersifat opini di media cetak, sewaktu berceramah, atau dalam bentuk lainnya, harusnya tidak menimbulkan hambatan secara kedinasan bagi dosen yang bersangkutan.

Seorang Ustad Abdul Somad (UAS) yang sering berceramah adalah seorang dosen PTN di Pekanbaru yang juga ASN. Materi ceramahnya yang banyak terdapat di medsos adakalanya menimbulkan pro dan kontra antar kelompok masyarakat. 

Apakah karena merasa tidak lagi bebas dalam berpendapat, takut diawasi, atau semata-mata karena sibuk berceramah, UAS akhirnya mengundurkan diri sebagai ASN? Mudah-mudahan tidak banyak dosen lain yang mengundurkan diri, karena kontribusinya di kampus tempat ia mengajar sangat dibutuhkan.

Kebebasan akademik tetap harus dijamin. Budaya kritis adalah bagian dari itu. Hanya saja, masalahnya jadi lain kalau disampaikan secara serampangan melalui media sosial. 

Kritik melalui medsos, meskipun bertujuan baik, sering rawan dirasuki komentar yang emosional. Misalnya disertai umpatan memakai kata "goblok" atau kata lain yang lebih keras dari itu. Ini kan bisa ditafsirkan sebagai penghinaan.

Negara kita adalah negara demokrasi, di mana hak untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh undang-undang. Medsos pun sebetulnya merupakan salah satu sarana untuk menyampaikan pendapat.

Jadi diharapkan para dosen tidak kehilangan sikap kritisnya. Tak perlu ketakutan dan menganggap dilematis adanya pengawasan pemerintah terhadap medsos.

Sebagai orang yang terdidik, para dosen pasti tahu bedanya menyampaikan pendapat dengan melakukan ujaran kebencian. Yang penting bersihkan niat. Sepanjang tujuannya demi kemajuan negara, bukan untuk menjatuhkan seseorang, tak ada masalah.

Jika seorang dosen jelas-jelas melakukan kegiatan makar seperti yang dituduhkan kepada seorang dosen IPB, tentu harus diproses secara hukum. Tapi kalau hanya menyampaikan kritik, bila ada yang menilai terlalu tajam, jangan buru-buru dijatuhkan hukuman. 

Dalam hal ini perlu ada klarifikasi dan memberi kesempatan membela diri bagi dosen yang menyampaikan kritik di medsos. Penjatuhan sanksi tidak boleh berdasarkan rasa tidak suka dari seorang rektor terhadap dosen yang kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun