Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bullying di Kantor Bisa Jadi Bumerang

18 Desember 2019   10:10 Diperbarui: 18 Desember 2019   10:15 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bullying menjadi istilah yang sering muncul akhir-akhir ini, seiring dengan gencarnya berita tentang hal ini di media sosial.  Agar lebih menghargai bahasa nasional, dalam tulisan ini, menggunakan terjemahannya "perisakan".

Selama ini perisakan lebih sering dikaitkan dengan kebiasaan yang terjadi di sekolah atau kampus, di mana para senior merisak juniornya.

Padahal dalam kehidupan di kantor pun, seorang atau sekelompok orang yang baru diterima sebagai karyawan baru, lazim pula dirisak oleh karyawan senior. Hanya saja hal ini jarang terungkap di media massa. 

Mungkin karena orang-orang yang sudah bekerja dianggap sudah dewasa, sehingga pasti bisa mengatasi perisakan. Sedangkan bagi anak sekolah, karena mentalnya masih labil, bisa-bisa mengalami depresi parah kalau dirisak.

Ada perbedaan lain antara perisakan di sekolah dan di kantor.  Siswa atau mahasiswa yang dirisak tidak punya kesempatan membalas dendam kepada yang merisaknya, tapi ada kesempatan melakukan hal yang sama ke juniornya sebagai pelampiasan.

Namun kalau di kantor, pegawai yang dirisak sangat mungkin bisa melakukan balas dendam kepada yang merisaknya. Makanya di pandang dari sisi yang duluan melakukan, perlu hati-hati, karena nanti bisa jadi bumerang.

Kondisi senjata makan tuan itu lazim terjadi apabila yang merisak dan yang dirisak sama-sama bertahan di perusahaan yang sama dalam jangka waktu yang lama, bahkan sampai pensiun.

Tak heran, saat baru memulai karir, banyak pegawai baru yang ketakutan dirisak pegawai yang lebih senior. Tapi keadaan berbalik, saat si senior mau pensiun, ia akan berbaik hati dengan pegawai yang dulu dirisaknya.

Toh mereka yang pensiun tak ingin kalau nanti sesekali datang sekadar main ke kantor lamanya, dicuekin oleh para pegawai yang notabene dulu adalah juniornya.

Atau yang lebih menyakitkan sebetulnya adalah ketika masih sama-sama aktif di perusahaan, pegawai yang dulu dirisak berhasil meroket karirnya sehingga suatu saat menjadi atasan dari yang pernah merisaknya.

Ada sebuah contoh, kisah nyata di sebuah perusahaan milik negara. Sebut saja ada seorang staf senior bernama Robi yang begitu galak pada staf junior yang baru direkrut. 

Robi sering melecehkan atau bahkan cenderung menghina staf baru yang berasal dari daerah dan terlihat lugu dalam pergaulan orang kantoran di ibu kota.

Tapi siapa tahu, 15 tahun kemudian posisi sudah berbalik. Robi memang sempat dapat promosi, tapi terhenti di level kepala bagian saja. 

Sementara juniornya yang dulu lugu itu telah menjadi kepala divisi dan Robi adalah salah satu anak buahnya. Gak tahu apakah karena dendam atau ada alasan lain, si kepala divisi bukannya mengusulkan Robi untuk dipromosikan, malah memutasikan Robi pada level jabatan yang sama tapi di daerah luar Jawa.

Makin terpuruklah Robi. Tapi Robi pasrah menerima karena kalau ia mencari pekerjaan di perusahaan lain, khawatir ditolak. Kebetulan kondisi kesehatannya pun tidak begitu baik. 

Bertahan di perusahaan semula meskipun pindah ke luar Jawa, membuat ia tetap terjamin dalam menutupi biaya kesehatan. Soalnya setiap pengeluaran kesehatan dapat dimintakan penggantiannya dari perusahaan.

Kisah seperti pengalaman Robi tersebut relatif sering ditemui di perusahaan-perusahaan milik negara atau instansi pemerintah. Mungkin juga di perusahaan swasta relatif sama kondisinya.

Sekarang sudah banyak kantor yang tidak lagi menerapkan prinsip senioritas atau metode "urut kacang" dalam mempromosikan karyawannya. 

Seorang anak muda yang dari hasil asesmen atau saat dilakukan seleksi untuk promosi, hasilnya lebih baik ketimbang calon yang lebih senior, maka posisi yang diperebutkan akan diberikan pada anak muda itu.

Bahkan ada perusahaan yang sengaja mencari staf potensial dari generasi milenial untuk diorbitkan ke jabatan lebih tinggi.

Memang perisakan berupa pemukulan fisik di kantor sangat jarang terdengar. Demikian pula yang berupa pemerasan untuk meminta sejumlah uang, jarang ditemukan.

Tapi memaksa karyawan baru mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, namun sebetulnya tugas seniornya secara individu, dulu menjadi hal yang biasa.

Modus perisakan terbanyak adalah melontarkan ucapan yang bernada pelecehan, termasuk menyindir fisik seseorang yang terlalu gemuk, terlalu kurus, atau kondisi lain yang gampang dijadikan bahan olokan.

Misalnya ada anak baru yang badannya kecil pendek, oleh seorang senior dipanggil Si Unyil. Ada yang dipanggil si item, si pesek, si gendut, si genit, si ganjen dan sebagainya. Bukankah ini termasuk perisakan?

Bahkan ada pula yang mungkin tidak sadar, kalimat pelecehannya berbau SARA. Umpamanya, umpatan "dasar Padang lu". Atau "Mentang-mentang lu orang Batak, gue gak takut". 

Terlepas dari akan jadi bumerang atau tidak, bagi mereka yang saat di bangku sekolah atau kuliah dulu punya "hobi" merisak juniornya, jangan teruskan lagi ketika sudah meniti karir di sebuah perusahaan atau instansi.

Kalaupun mendapatkan tugas dari atasan untuk melakukan pendampingan bagi karyawan baru, lakukan dengan penuh tanggung jawab tanpa tercetus niat sedikit pun untuk merisaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun