Robi sering melecehkan atau bahkan cenderung menghina staf baru yang berasal dari daerah dan terlihat lugu dalam pergaulan orang kantoran di ibu kota.
Tapi siapa tahu, 15 tahun kemudian posisi sudah berbalik. Robi memang sempat dapat promosi, tapi terhenti di level kepala bagian saja.Â
Sementara juniornya yang dulu lugu itu telah menjadi kepala divisi dan Robi adalah salah satu anak buahnya. Gak tahu apakah karena dendam atau ada alasan lain, si kepala divisi bukannya mengusulkan Robi untuk dipromosikan, malah memutasikan Robi pada level jabatan yang sama tapi di daerah luar Jawa.
Makin terpuruklah Robi. Tapi Robi pasrah menerima karena kalau ia mencari pekerjaan di perusahaan lain, khawatir ditolak. Kebetulan kondisi kesehatannya pun tidak begitu baik.Â
Bertahan di perusahaan semula meskipun pindah ke luar Jawa, membuat ia tetap terjamin dalam menutupi biaya kesehatan. Soalnya setiap pengeluaran kesehatan dapat dimintakan penggantiannya dari perusahaan.
Kisah seperti pengalaman Robi tersebut relatif sering ditemui di perusahaan-perusahaan milik negara atau instansi pemerintah. Mungkin juga di perusahaan swasta relatif sama kondisinya.
Sekarang sudah banyak kantor yang tidak lagi menerapkan prinsip senioritas atau metode "urut kacang" dalam mempromosikan karyawannya.Â
Seorang anak muda yang dari hasil asesmen atau saat dilakukan seleksi untuk promosi, hasilnya lebih baik ketimbang calon yang lebih senior, maka posisi yang diperebutkan akan diberikan pada anak muda itu.
Bahkan ada perusahaan yang sengaja mencari staf potensial dari generasi milenial untuk diorbitkan ke jabatan lebih tinggi.
Memang perisakan berupa pemukulan fisik di kantor sangat jarang terdengar. Demikian pula yang berupa pemerasan untuk meminta sejumlah uang, jarang ditemukan.
Tapi memaksa karyawan baru mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, namun sebetulnya tugas seniornya secara individu, dulu menjadi hal yang biasa.