Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Astaga, Pak Tua Itu Masih Suka Lihat Cewek Cantik

23 November 2019   08:09 Diperbarui: 23 November 2019   08:13 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ssttt! Ini rahasia ya, tolong jangan disebarkan. Sebetulnya yang dimaksud dengan Pak Tua pada judul di atas adalah saya sendiri.

Begini, sering saya bertanya dalam hati, apakah saya normal dalam usia mendekati penghujung 50-an tahun, bila lagi berpapasan dengan cewek cantik, selalu masih tertarik untuk sekadar meliriknya selama beberapa detik.

Ya memang hanya sampai sebegitu saja keberanian saya, sekadar melihat sekilas seolah-olah tidak sengaja. Tapi itu sudah cukup menciptakan peperangan di batin saya.

Sisi baik saya selalu mengingatkan ajaran yang sering saya dengar dari para ustad agar kita menundukkan pandangan bila bertemu dengan lawan jenis.

Tapi sisi jelek saya lebih kuat menghasut dengan membisikkan bahwa kesempatan harus dimanfaatkan. Pemandangan yang indah sayang kalau dilewatkan. 

Kadang-kadang saya mencari pembenaran sendiri dengan mengajukan dalil mengagumi ciptaan Tuhan adalah salah satu cara bersyukur.

Parahnya, definisi cantik yang saya gunakan terlalu longgar. Mau yang remaja atau yang setengah baya, yang hitam atau yang putih, yang kurus atau gemuk, yang pesek atau mancung, berpakaian agak terbuka atau berhijab, tetap bisa saya pandang sisi cantiknya. 

Tak heran frekuensi saya melirik jadi lumayan sering bila sedang berada di ruang publik semisal di mal, di bandara, atau malah di halte bus saat pagi hari yang sibuk di Jalan Sudirman, Jakarta, ketika bus "menumpahkan" isinya para karyawati yang berkantor di sekitar halte itu.

Apalagi di kantor saya sendiri, eh maksudnya bukan di kantor milik saya, tapi di kantor tempat saya bekerja, yang terletak di dekat halte itu tadi. 

Jelas kalau di kantor, saya tidak sekadar berpapasan, tapi berkomunikasi secara lisan dengan banyak karyawati. Akhirnya definisi cantik saya makin fleksibel.

Soalnya, saya mampu mendeteksi sisi cantik seorang karyawati yang menurut teman-teman saya tergolong berwajah kurang cantik. Contohnya wanita yang pintar dalam berdiskusi, meski berwajah biasa, membuat saya betah memandangnya.

Ada yang tidak begitu pintar, tapi saya melihat sisi cantiknya dari karakternya yang penyabar. Atau dari sopan santunnya, dari warna suaranya, dari semangat kerjanya, dan sebagainya.

Bahkan adakalanya saya sengaja mengajak ngobrol karyawati yang jarang diajak ngobrol oleh teman-temannya. Sedangkan bagi karyawati yang sudah punya banyak "penggemar", saya juga sengaja menjaga jarak, meski dari kejauhan tetap saya lirik.

Meskpun teman-teman kantor saya yang wanita mengetahui tabiat saya yang suka meliriknya, setahu saya tidak ada yang takut, karena mereka tahu bahwa saya sebetulnya penakut. Toh, sekadar mencolek tangannya pun saya tidak berani.

Okelah, agar saya merasa tenang bahwa saya tidak sendiri, berikut saya kisahkan lelaki yang lebih tua dari pada saya, tapi sama-sama penyuka keindahan.

Saya teringat sekitar beberapa tahun yang lalu, sewaktu masih punya posisi di sebuah perusahaan milik negara. Karena saya di divisi akuntansi, maka bos saya adalah direktur keuangan.

Bos saya itu direktur tertua di antara tujuh orang direktur. Usianya ketika itu sudah masuk kepala enam, lebih tua dari umur saya sekarang.

Ceritanya, kalau lagi menghadap atau dipanggil ke ruangan bos, saya sering dimarahi. Akhirnya karena saya tahu si bos masih suka melirik cewek cantik, maka setelah itu bila saya dipanggil bos, sering saya minta ditemani oleh Echi, karyawati tercantik di divisi saya dan masih menjadi staf.

Sejak itu ruangan bos bukan lagi ruangan yang menakutkan bagi saya, karena bos malah suka becanda dan ketawa ketiwi menggoda si Echi.

Cerita teman saya dari divisi yang lain lebih parah lagi. Kebetulan direktur yang jadi bosnya bukan bos saya, tapi sama-sama sudah berusia di atas 60 tahun. Suatu kali si teman lagi menghadap bosnya. Eh, pas lagi serius membahas pekerjaan, tiba-tiba si bos begitu saja keluar ruangan melongok sesuatu, terus masuk lagi.

Teman saya keceplosan bertanya, "Ada apa pak?" Tahu apa jawabannya? "Gak ada apa-apa, tadi ada cewek mirip BCL lewat," ujar si bos enteng. Weleh-weleh-weleh. BCL! Siapa yang gak kesengsem?

Begitulah saudara-saudara. Sebetulnya saya agak berat untuk menuliskan hal ini. Tapi begitu artikel ini berhasil ditayangkan, artinya saya sudah berani jujur pada diri sendiri, bahwa sebetulnya saya memang punya "penyakit" yang belum lekang karena usia. 

Alhamdulillah, istri saya tak pernah mengeluh akan hobi saya yang satu ini. Namun bagaimanapun juga saya berharap, lama-lama saya berhasil menundukkan pandangan seperti ceramah yang sering saya dengar dari para ustad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun