Masa tugas Wapres Jusuf Kalla tinggal menghitung hari. Dua kali menjadi Wapres untuk Presiden yang berbeda  dengan masa jeda lima tahun, mungkin hanya satu-satunya terjadi di dunia, dan itu dialami Jusuf Kalla yang akrab dipanggil JK ini.
JK adalah sosok wapres ideal karena saling melengkapi dengan Jokowi sebagai Presiden. Tak ada kesan "matahari kembar" yang mengancam posisi Presiden. Sebetulnya waktu bersama Presiden SBY pun, JK juga harmonis hubungannya.Â
Hanya saja pihak media massa menciptakan citra SBY yang lamban dalam mengambil keputusan, sedangkan JK yang berlatar belakang pengusaha terkenal lincah, supel dan cepat mengambil keputusan.Â
Akhirnya duet SBY-JK hanya bertahan satu periode saja. SBY tidak mengajak lagi untuk periode kedua, yang direspon JK dengan mendeklarasikan pencalonannya sebagai Presiden periode 2009-2014 dengan menggandeng Wiranto. Tapi seperti diketahui, SBY yang berpasangan dengan Boediono, terlalu tangguh bagi para pesaingnya.
Maka masa mendampingi Jokowi selama 2014-2019 agaknya bisa dicatat sebagai akhir yang manis bagi pengabdian JK buat bangsa dan negara. Meskipun peran lain sebagai guru bangsa, negarawan, atau mediator perdamaian tidak saja skala nasional namun juga internasional, telah menanti.
Tapi sebuah pernyataan JK yang diberitakan Kompas TV Kamis pagi (3/10/2019) terbilang cukup berani karena terkesan berseberangan dengan Jokowi, dan bisa ditafsirkan seolah-olah menggiring Jokowi untuk mengambil keputusan yang melawan arus desakan massa, terkait rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK.
Menurut JK, bila Presiden menerbitkan Perppu, maka bisa dinilai menggambarkan hal yang tidak bagus, karena UU KPK telah dibahas DPR bersama pemerintah dan suratnya telah ditandatangani Presiden. Mungkin kalau boleh ditafsirkan, hal itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri.
Faktor kewibawaan pemerintah, itulah yang menjadi pertimbangan utama bagi JK. Dilansir dari tirto.id (1/10/2019), JK berucap, "Kan baru saja Presiden teken (revisi UU KPK), masak langsung Presiden sendiri menarik itu. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah?".
Penerbitan Perppu menurut JK juga tidak otomatis membuat reda desakan publik melakukan aksi demo. Hal ini sudah mulai terlihat, ada unjuk rasa yang menentang Perppu KPK.Â
JK mengusulkan bahwa cara yang dapat ditempuh sebaiknya adalah melakukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia, dalam berita Kompas TV Kamis sore (3/10/1019) juga sependapat dengan JK yakni mengusulkan dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun kalau kita cermati berita di media massa, pernyataan Jokowi yang mempertimbangkan menerbitkan Perppu, justru setelah bertemu dengan pemuka agama, tokoh masyarakat, dan juga pakar hukum seperti Mahfud MD yang ahli hukum tata negara dan pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.
Bisa kita bayangkan betapa terjepitnya posisi Presiden Jokowi di antara pihak yang menginginkan terbitnya Perppu dan yang menolak. Para pimpinan parpol, termasuk PDIP sebagai partai tempat Jokowi bernaung telah menyatakan sikapnya  yang tidak mendukung Perppu.
Secara politis, posisi parpol lebih di atas angin, karena kalaupun Presiden mengeluarkan Perppu, nantinya bisa ditolak oleh DPR.Â
Tapi bila diyakini bahwa demonstrasi besar-besaran baru-baru ini di banyak kota besar sebagai representasi suara rakyat banyak, dan bila Jokowi merasa tidak ada beban politik, bisa jadi Perppu akan diterbitkan.Â
Toh bila nanti tidak diterima DPR, artinya DPR yang notabene adalah hasil pilihan rakyat pada pemilu yang lalu, akan berhadapan dengan masyarakat banyak. Bagaimanapun juga menarik menunggu jadi tidaknya Perppu dikeluarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H