Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Orang Bugis dan Minang Jadi Sasaran di Wamena? Jangan Gampang Sebar Isu SARA

1 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 1 Oktober 2019   17:16 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerusuhan di Wamena, Papua, yang terjadi Senin (23/9/2019) lalu, telah menelan 32 korban jiwa. Sayangnya, peristiwa itu tidak begitu banyak informasinya yang diberitakan media massa nasional karena tertutupi oleh liputan demo besar-besaran para mahasiswa di berbagai kota.

Namun di media sosial, seperti di grup WA yang anggotanya berasal dari komunitas Minangkabau, banyak beredar informasi tentang terdapatnya 9 orang perantau asal Minang yang kehilangan nyawa akibat amuk massa tersebut.

Belakangan juga beredar di media sosial berita bahwa pendatang etnis Bugis ikut pula menjadi korban. Berita itu terkesan ingin mengedepankan isu yang berkaitan dengan SARA. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran adalah orang Bugis dan Minang.

Apakah valid atau tidak, disebutkan bahwa ada sekitar 10.000 orang perantau Minang di Wamena yang sekarang merasa tidak aman dan memilih untuk mengungsi di Jayapura, meskipun sebagian di antaranya masih belum kebagian pesawat sebagai satu-satunya alat transportasi. Yang belum kebagian itu terpaksa tinggal di tempat penampungan darurat di komplek militer.

Kalau jumlah perantau Minang di Wamena itu betul, rasanya terlalu banyak dan wajar menimbulkan kecemburuan sosial. Soalnya, penduduk kota Wamena sendiri (bukan penduduk Kabupaten Jayawijaya, di mana Wamena adalah ibu kotanya) diperkirakan tidak sampai 100.000 jiwa. 

Belum lagi kalau dihitung perantau Bugis dan suku-suku lainnya yang mengais rezeki di kota pegunungan di pedalaman Papua itu. Jika total pendatang sudah 25 persen dari jumlah penduduk kota dan sangat dominan menguasai perekonomian karena memiliki toko-toko di sana, akan gampang menimbulkan gesekan.

Jumlah pendatang yang terlalu banyak tidak kondusif bagi kehidupan sosial. Kecuali di daerah yang memang tidak banyak penghuninya dan dirancang untuk dikembangkan, seperti Batam.

Dulu sebelum ada perdamaian di Aceh, transmigran asal Jawa juga sering mengungsi karena ketakutan menjadi sasaran serangan gerakan separatisme.

Demikian pula di Kalimantan Barat, di penghujung era Orde Baru, pendatang asal Madura melakukan eksodus pulang kampung karena kerusuhan SARA dengan warga asli.  Sedangkan di Maluku, pernah terjadi konflik sesama warga asli tapi berbeda agama, antara pemeluk Islam dan Kristen.

Tapi untuk yang di Wamena, kita jangan terlalu gampang menyimpulkan telah terjadi kasus SARA yang menyasar etnis Bugis, Padang, atau etnis manapun juga. Bisa jadi dalam situasi chaos seperti itu, kebetulan yang lagi berdagang adalah saudara kita dari Bugis dan Minang, sehingga menjadi korban. 

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri cukup responsif terhadap peristiwa kerusuhan Wamena. Pemprov membantu biaya transportasi pemulangan jenazah ke kampung halamannya, kebetulan semua berasal dari satu kabupaten yakni Pesisir Selatan, sebelah selatan kota Padang. 

Memang pola merantau orang Minang, cenderung mengikuti jejak kerabatnya yang sudah lebih dahulu berhasil di suatu kota. Mungkin perantau Pesisir Selatan menjadi pionir ke Wamena, mengingat kota itu bukan tujuan yang populer dibandingkan daerah perantauan "tradisional" seperti ke Pulau Jawa atau daerah yang berkembang pesat seperti Batam, Balikpapan, Bali, dan sebagainya 

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit terbang langsung ke Jayapura dan Wamena untuk melihat kondisi para perantau asal Minang di sana. Sejauh ini respon Pemprov Sumbar masih proporsional.

Tapi berita yang beredar di media sosial antar warga Minang, mulai mengkhawatirkan, karena berbau nuansa ingin menegakkan harga diri dengan membalas dendam. Jika tidak dikendalikan, tentu saja berbahaya.

Langkah terbaik adalah dengan menyerahkan penanganan pada pihak berwajib untuk menghukum oknum yang terbukti bersalah. Semoga pihak berwajib mampu menjalankan perannya dengan baik.

Untuk masa depan, para perantau perlu juga memperhatikan, bila di suatu kota yang relatif kecil, perantau yang satu suku sudah terlalu banyak, sebaiknya calon perantau tidak lagi menjadikannya sebagai tujuan mencari rezeki.

Selain itu, organisasi para perantau, biasanya berbasis kedaerahan, perlu lebih aktif memantau situasi dan melakukan edukasi agar anggotanya punya kepekaan sosial. Terapkanlah kata pepatah lama yang sangat bijak: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". 

Kerusuhan di Wamena memang pelajaran yang mahal harganya, tapi bisa diambil hikmahnya agar kelak tidak terjadi lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun