Film religi berjudul "Hayya" sukses melewati pemutaran minggu pertamanya di berbagai bioskop di tanah air. Sekarang sudah masuk minggu kedua, dan penonton masih terlihat relatif ramai.
Memang tidak penuh sesak seperti film Bumi Manusia atau Gundala, tapi dengan melewati satu minggu pemutaran, artinya telah melewati masa kritis. Banyak film nasional yang tak berhasil menembus minggu kedua karena hukum besi bisnis perbioskopan, bila minggu pertama sepi, ya langsung wassalam.
Promosi film Hayya di media arus utama tidak begitu gencar. Namun melalui grup media sosial, terutama yang anggotanya sering membahas soal agama, banyak yang mengetahui bahwa sejak 19 September 2019 lalu, ada imbauan buat menonton film ini. Sebagian hasil film akan didonasikan buat kaum duafa.
Makanya jangan heran kalau banyak ibu-ibu anggota majelis taklim yang memenuhi bioskop. Demikian pula para santri atau pelajar di sekolah bernuansa Islami.Â
Kehadiran para santri dengan pakaian muslim, yang lelaki pakai peci putih, seperti yang terlihat di bioskop lantai 5 Blok M Square, Sabtu (28/9/2019) kemarin, memberi warna berbeda di tengah penonton lainnya yang berbusana santai.
Kemungkinan ketertarikan para santri, atau mungkin juga anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an), karena film ini berkisah tentang nasib seorang anak perempuan bernama Hayya di Palestina.
Memang ini bukan yang pertama kali bioskop didatangi kelompok pengajian, karena meskipun tidak sering, sejak sepuluh tahun terakhir sudah diproduksi beberapa film bernuansa religi. Ayat-ayat Cinta adalah salah satu yang menuai sukses dari sisi jumlah penonton.
Tapi yang mengangkat tema anak Palestina, Hayya menjadi yang pertama untuk produksi film Indonesia. Menarik melihat suasana tenda-tenda pengungsian di Palestina yang tersaji apik di awal film.
Di sanalah dua tokoh utama film ini, Rahmat (Fauzi Baadila) dan Adin (Adhin Abdul Hakim), dua orang relawan kemanusiaan yang membantu korban perang yang telah berlangsung sejak 70 tahun terakhir antara penjajah Israel di wilayah Palestina yang didudukinya.Â
Latar belakang Rahmat sebelumnya adalah seorang jurnalis yang merasa telah terlalu banyak berbuat dosa, lalu dalam proses hijrah menjadi pribadi yang lebih baik. Kepergian ke Palestina adalah bagian dari proses hijrah tersebut.
Suatu kali, setelah ada serangan dari tentara Israel, Rahmat mendengar tangisan seorang gadis kecil dan menolongnya. Hayya (Amna Hasanah), si gadis kecil itu, nantinya terlibat hubungan yang rumit dengan Rahmat yang amat menyayanginya, sehingga memunculkan berbagai konfik yang dramatis.
Tapi Rahmat harus segera pulang ke Indonesia karena akan melangsungkan pernikahan dengan Hasna (Medya Safira) yang telah direncanakan sebelumnya. Hayya berontak dan tidak bisa menerima perpisahan itu.
Namun setibanya di Jakarta Rahmat sangat kaget karena ternyata Hayya juga ada di rumahnya. Terlepas dari kurang logisnya seorang anak kecil bersembunyi di dalam sebuah koper agar dibawa oleh kapal kemanusiaan yang ditumpangi Rahmat dan Adin dari Palestina ke Jakarta, film ini sangat menyentuh dari sisi kemanusiaan. Penderitan anak Palestina yang traumatis cukup tergambar.
Memang kelemahan film ini ada pada logika ceritanya. Tampaknya penulis skenario  Ali Eunoia dan sutradara Jastis Arumba, ingin menggampangkan cerita.Â
Di samping anak kecil masuk koper di atas, Hayya yang hilang di belantara Jakarta, terlalu gampang ditemukan Rahmat. Begitu pula adegan tabrakan di akhir cerita, yang membuat Rahmat dirawat di rumah sakit, agak kurang pas.
Namun paling tidak film Hayya telah berhasil mengangkat tema yang langka. Satu hal yang tidak terbantahkan, dalam kenyataannya, pemerintah dan masyarakat Indonesia dari dulu selalu konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaannya. Itu yang menjadi salah satu tujuan film ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H