Mahasiswa melakukan demonstrasi, bukanlah berita baru. Sudah terlalu biasa. Tapi memang ada yang luar biasa bila dilihat dari sisi jumlah peserta, penyebaran tempat demo, dan lamanya demo, seperti yang terjadi tahun 1966 yang mengakhiri Orde Lama, tahun 1998 yang menumbangkan Presiden Soeharto, dan yang baru-baru ini, September 2019.
Asumsinya mahasiswa adalah manusia dewasa yang sudah melek politik, maka kalau ada ketidakberesan dalam kebijakan pemerintah dan mahasiswa berdiam diri saja, justru terasa aneh.Â
Tapi bagaimana kalau demonstrasi diikuti oleh pelajar seperti yang terjadi Rabu (25/9/2019) kemarin di depan gedung DPR di Jakarta, di mana sejumlah pelajar SMK terlibat demo.
Kalau kita telusuri sejarah di zaman penjajahan Belanda, pelajar setingkat SMAÂ saat ini, banyak yang melek politik. Seorang Minke, meskipun tokoh fiktif rekaan novelis Pramoedya Ananta Toer, telah punya kesadaran politik yang tinggi dengan setting Hindia Belanda di dekade 1890-an.
Kemudian berlanjut di tahun-tahun awal kemerdekaan RI, beberapa organisasi pelajar beskala nasional pun lahir, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) yang didirikan tahun 1947 dan sampai sekarang masih eksis.
Tahun 1966, dua gerakan aksi massa yang paling dominan adalah yang dinamakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Jelaslah peran politik para pelajar tidak bisa dipandang remeh.
Namun waktu aksi massa tahun 1998 tidak terlihat kelompok pelajar yang mendampingi kelompok mahasiswa. Kevakuman gerakan pelajar berlanjut sampai sekarang, maksudnya sebelum yang tanggal 25 September 2019 kemarin. Â
Kalau dihitung sejak tahun 1966, berarti sudah sangat lama pelajar tidak lagi melakukan demo menentang kebijakan yang bersifat politis dalam lingkup nasional. Kalaupun ada, sifatnya lokal, biasanya menuntut mundur kepala sekolahnya.
Wajar kalau banyak yang terkaget-kaget ketika kemarin, entah bagaimana caranya, tiba-tiba pelajar ikut berdemonstrasi. Mungkin mereka belum begitu paham apa yang dituntutnya.Â
Sehingga penilaian masyarakat pun terbelah, antara yang memberikan apresiasi dan yang mengatakan pelajar hanya diperalat oleh aktor intelektual yang tidak terlihat.
Karena sudah begitu lama tak pernah lagi adanya demo pelajar, muncul pertanyaan, sebetulnya boleh gak sih para pelajar tersebut berdemonstrasi?
Sepanjang demonstrasi tersebut dilakukan tanpa diskenariokan pihak lain dan para pelajar memahami apa yang disuarakannya, rasanya boleh-boleh saja. Toh kalau bicara soal cukup umur atau belum cukup umur, hal yang relatif.
Tapi harus diakui, usia pelajar zaman dulu lebih tua secara rata-rata ketimbang pelajar sekarang. Hal itu karena dulu anak-anak masuk Sekolah Dasar (SD) pada usia 7-8 tahun, sekarang pada usia 6 tahun.
Namun kalau melihat usia 17 tahun merupakan batas usia minimal untuk mendapatkan KTP dan juga untuk membikin SIM, maka sejak usia 17 tahun seseorang dinilai sudah mampu bertanggung jawab. Â
Pada usia 17 tahun tersebut, rata-rata seseorang sudah duduk di kelas 12, dulu disebut kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hanya saja di mata orang tua, usia 17 dianggap masih anak-anak, terlalu dini buat mengerti soal politik.
Beda dengan anak zaman dahulu, mungkin karena tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, menjadi cepat dewasa, karena sudah pintar mencari uang pada usia belasan tahun, dengan bertani, jadi nelayan, bertukang, dan sebagainya.
Sedangkan anak sekarang karena orang tuanya lebih makmur dan sekaligus lebih dimanja, maka yang sudah mahasiswa pun terkesan masih belum mandiri.Â
Kembali ke demonstrasi pelajar di DPR kemarin, terlepas dari soal murni atau tidak, paling tidak membuat kita yang lebih tua menyadari bahwa pelajar SMA atau yang sederajat, sudah seharusnya dibekali pendidikan sosial politik yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI