Saya punya seorang kerabat yang diam-diam telah 3 tahun berhenti secara sepihak dari sebuah kantor cabang pembantu di salah satu bank milik negara. Kantor tersebut berlokasi di Jakarta Barat.
Kenapa saya sebut secara sepihak? Soalnya si kerabat ini, sebut saja namanya Dedi, tak masuk kantor begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas proses administrasinya, karena tidak ada surat pemberhentian, dengan hormat ataupun dengan tidak hormat, yang diterimanya.
Lalu kenapa sampai tiga tahun keluarganya tidak tahu bahwa sang kepala keluarga sudah tidak bekerja di kantor lagi? Karena si suami selalu pergi pagi dan pulang malam seperti biasa, padahal ia banting setir jadi pengemudi taksi online memanfaatkan mobil yang selama ini dipakainya ke kantor.
Istrinya shock, demikian pula kedua orangtua Dedi dan kedua mertuanya di kampung halamannya di Sumatera Barat, yang diberitahu oleh istri Dedi.
Apalagi setelah Dedi bercerita tentang penyebab ia mengambil langkah yang teramat berani itu dan di mata orang lain dinilai sebagai kurang perhitungan, hannya gara-gara percakapan di sebuah grup WhatsApp (WA).
Dari cerita Dedi ke saya, begini kira-kira penjelasannya. Dedi berada dalam sebuah grup WA dengan teman-temannya sesama petugas pemasaran kredit di kantor cabang pembantu tersebut dan ditambah dengan atasannya, mulai dari kepala cabang pembantu, kepala cabang yang menjadi atasannya si kepala cabang pembantu, dan wakil kepala wilayah yang merupakan atasannya si kepala cabang.
Karena si wakil kepala wilayah (selanjutnya ditulis si bos) paling tinggi jabatannya, maka ia menjadikan grup WA tersebur sebagai sarana untuk memantau pekerjaan para petugas kredit agar target yang telah ditetapkan dapat tercapai.Â
Nah, di antara teman-temannya pada pertengahan tahun 2016 lalu, Dedi yang paling rendah kinerjanya dalam arti jumlah nasabah baru dan jumlah kredit yang berhasil direalisirnya, paling rendah pencapaiannya dibanding target yang ditetapkan atasannya untuk Dedi secara individu.
Masalahnya, cara si bos memarahinya, dan bahkan mengancam akan memecatnya yang ditulis di grup WA sehingga diketahui semua anggota, betul-betul dianggap Dedi sebagai menampar harga dirinya.
Ketika si bos menulis tak ada tempat bagi karyawan yang pemalas dan masih banyak yang antre mau melamar pekerjaan ke bank itu, Dedi tidak tahan lagi dan membalas degan menulis: "Bos, saya tunggu surat pemecatan terhadap diri saya."
Lalu setelah itu Dedi tidak lagi masuk kantor. Padahal surat pemecatan yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang. Malah si bos setelah ditantang seperti itu tak muncul lagi tulisannya di grup WA.
Sayang sekali, Dedi tidak mengindahkan prosedur administratif bagi seseorang yang diberhentikan oleh perusahaan atau ingin berhenti bekerja. Ia terlalu tenggelam dalam emosi karena merasa dipermalukan di depan teman-teman satu grup WA.
Jelaslah bahwa si bos hanya melakukan gertak sambal, mungkin niatnya baik, untuk memotivasi anak buah. Cuma si bos lupa, memarahi anak buah boleh-boleh saja, tapi lakukan secara pribadi, jangan di depan banyak karyawan.Â
Bila berhadapan langsung, panggil si karyawan ke ruangan bos, lalu boleh saja dimarahi tanpa diketahui orang lain. Bila pakai aplikasi WA, lakukan secara japri, jangan di grup.
Asal tahu saja, tidak gampang memecat anak buah di sebuah BUMN yang sudah punya aturan main tersendiri. Si anak buah harus diberi surat peringatan pertama, kedua, sampai ketiga, baru kemudian bisa diproses pemutusan hubungan kerja (PHK) atas nama pekerja yang telah melakukan pelanggaran peraturan kepegawaian.
Itupun setelah terbit surat keputusan PHK yang ditandatangani pejabat yang berwenang di perusahaan tersebut, pekerja yang di-PHK mendapat hak-haknya seperti pesangon sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Jelas dalam hal ini Dedi mengalami kerugian karena tidak mendapat pesangon dan juga tidak mendapat surat keterangan bahwa ia telah bekerja sekian lama yang bisa dipakai buat melamar pekerjaan ke perusahaan lain.
Adapun buat si bos atau siapapun yang punya anak buah, ada pula hikmah dari kasus tersebut. Bila satu grup WA dengan anak buahnya, seharusnya para bos tahu, mana informasi yang bisa disampaikan buat grup, mana yang sebaiknya melalui japri. Memarahi anak buah, bagusnya via japri.
Bahkan sebetulnya bos tidak perlu ikut grup WA ramai-ramai dengan semua anak buahnya. Biasanya anak buah akan risih dan malas memberikan komentar.Â
Akhirnya para anak buah membuat grup baru sesama mereka saja untuk hepi-hepi dan bebas ngomongin kelakuan bosnya. Sedangkan grup WA yang ada bosnya malah sepi percakapan.
Namun untuk proyek tertentu yang bersifat temporer, ada baiknya bos dan anak buah berada dalam satu grup WA untuk memudahkan koordinasi. Tapi bukan untuk pekerjaan rutin yang relatif permanen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H