Saya bukanlah penggemar film superhero. Seorang teman saya yang kecanduan menonton film jenis tersebut, mengungkapkan kekecewaannya setelah menonton film superhero pertama Indonesia, Gundala.
Tapi anehnya teman saya itu memprovokasi saya untuk menonton Gundala, agar ia punya teman yang sama-sama jadi "korban" Gundala. Padahal ia tahu bahwa saya lebih suka film drama yang menggambarkan kehidupan sehari-hari yang sangat mungkin dialami oleh banyak orang.
Kalaupun saya akhirnya memutuskan menonton Gundala, itu karena terpengaruh beberapa tulisan di Kompasiana yang bernada positif. Lagipula sekarang film ini sudah memasuki minggu ketiga pemutaran. Artinya film ini laris manis. Wajar kalau saya jadi penasaran.
Nama Joko Anwar sebagai sutradara juga menjadi daya tarik. Dulu saya juga menonton Pengabdi Setan meski bukan penggemar film horor. Saya waktu itu penasaran apa hebatnya film tersebut kok bertahan satu bulan di bioskop. Pengabdi Setan adalah film karya Joko Anwar dan ternyata saya bisa menikmatinya.
Begitulah, akhirnya saya sengaja menonton film Gundala di salah satu bioskop di Jakarta Selatan, Senin (16/9/2019). Saya yang tidak pernah membaca komik Gundala, hanya punya referensi satu atau dua film superhero produksi Marvel saja, yang saya ingat adalah Avengers, secara overall bisa menikmati film Gundala.
Namun saya akhirnya bisa memaklumi kenapa mereka yang sudah menonton Gundala, penilaiannya terbelah. Beberapa anak muda yang saya taksir usianya sekitar 25 tahun, seusai keluar dari bioskop terdengar mengumpat melampiaskan kekecewaannya.
Memang tidak semenegangkan Avengers, demikian pula kedahsyatan berantemnya, Gundala masih kalah. Saya juga memahami pendapat teman saya yang kecewa karena alur ceritanya yang terkesan terburu-buru sehingga agak sulit dipahami.
Tapi barangkali rasa cinta saya pada film nasional demikian besar, sehingga dalam keterbelahan itu saya termasuk kelompok yang merasa terhibur. Bukan berarti saya mengatakan mereka yang kecewa dengan Gundala rasa nasionalismenya kurang, namun hanya terlanjur sangat Hollywood sentris.
Memang adegan laga dengan berbagai alat, termasuk menggunakan teknologi canggih, yang membuat penonton terpaku seperti pada Avengers, kurang terlihat di Gundala.
Namun justru karena itu menurut saya menjadi nilai plus Gundala karena banyak dibumbui adegan yang memakai gerakan silat khas negara kita. Ini yang saya sukai dan menjadi salah satu pembeda dengan film superhero barat.
Pembeda lain adalah problem sosial yang mengawali film ini terasa Indonesia banget, yakni pertentangan buruh pabrik dengan pihak manajemen. Di lain pihak ada kemewahan yang diperlihatkan anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Demikian juga setting komplek pabrik, rumah para buruh, stasiun kereta api yang jadi gudang gerbong kereta rongsokan, gang kecil di kawasan kumuh dengan latar belakang gedung pencakar langit, lumayan menarik bagi saya. Apalagi dengan warna yang cenderung hitam atau kelabu yang menggambarkan kesuraman.
Jadi menurut saya Gundala adalah langkah awal yang baik bagi munculnya industri film superhero ala Indonesia. Film yang sekarang diputar lebih sekadar perkenalan, bagaimana seorang Sancaka yang diperankan Abimana Aryasatya, yang menjadi yatim piatu sejak kecil dan tumbuh menjadi anak jalanan, berproses menjadi Gundala.Â
Dengan kesaktiannya Gundala menjadi pahlawan dalam melawan ketidakadilan. Namun karena film pertama baru pada tahap perkenalan, rasanya akan lebih teruji kehebatannya pada film-film Gundala berikutnya yang diharapkan tumbuh sebagai industri baru dengan label Bumilangit Cinematic Universe.
Apakah Gundala akan sefenomenal superhero Amerika? Apakah yang sekarang ramai hanya karena orang-orang pada penasaran saja? Waktulah yang akan menentukan dan tentu menarik untuk ditunggu.
Namun kalau boleh mengimbau, kita perlu belajar mengapresiasi karya kreatif, termasuk film, produksi negeri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H