Di akun instagramnya, Syed Saddiq menulis kesaksiannya bahwa ia melihat botol, besi dan suar yang dilemparkan suporter Indonesia ke tempat suporter Malaysia.
Butuh waktu lama tamu-tamu kita dari negara serumpun itu tertahan di GBK, sampai kemudian kembali ke hotel tempat mereka menginap dengan mendapat pengawalan khusus dari pihak kepolisian.Â
Bertanding di GBK betul-betul tidak nyaman bagi para pemain Malaysia dan pendukungnya. Terjawab sudah kenapa sudah tiga kali PSSI melayangkan surat ke FAM (PSSI-nya Malaysia) meminta diadakan laga uji coba Indonesia-Malaysia, selalu ditolak mereka. Sampai akhirnya bertemu di laga yang tak bisa dielakkan, pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 yang telah berlangsung ricuh itu.
Sebetulnya banyak aksi positif mayoritas suporter kita yang mampu menampilkan berbagai atraksi menarik dari bangku tribun penonton. Tapi semua itu tidak bakal dikenang oleh tamu kita, selain kebrutalannya.
Kita pantas kecewa dengan para suporter itu. Tapi bukankah hal tersebut sebagai refleksi dari carut-marut kehidupan kita? PSSI penuh carut-marut, tahun lalu terbongkar kasus mafia bola.Â
Carut-marut tersebut menjadi semakin jelas dalam kancah politik. Semua siap menang, tapi tak siap kalah. Butuh waktu lama bagi yang kalah untuk mengakui kekalahannya, bahkan sebagaian pendukung kubu yang kalah masih saja melakukan ujaran kebencian.Â
Ya, bukankah wajah suporter tersebut adalah cermin dari wajah kita sendiri yang suka memakai cara kekerasan untuk menyelesaikan berbagai persoalan?Â
Contohnya ketika saya mau menutup tulisan ini, sebuah stasiun televisi menayangkan berita tawuran yang terjadi hari ini dekat Stasiun Kereta Api Manggarai, Jakarta Selatan.
Saking seringnya tawuran seperti itu di beberapa tempat di ibu kota, saya malah tidak menganggapnya sebagai berita lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H