Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pasar Baru Makin Pudar Dimakan Waktu

1 September 2019   17:02 Diperbarui: 1 September 2019   17:24 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang lagi ada pengunjung (dok pribadi)

Hari Sabtu (31/8/2019) saya sengaja ke Pasar Baru, Jakarta Pusat, kawasan perbelanjaan yang sangat terkenal sejak zaman Belanda sampai sekitar tahun 1980-an. 

Ya, sejak zaman Belanda, karena ini salah satu pasar tertua di Batavia, nama Jakarta waktu itu. Perhatikan tulisan di gerbang masuknya. Tertulis tahun 1820 sebagai tahun pendiriannya. Wow, sudah dua abad. Tapi gerbangnya itu dibangun baru dengan gaya gerbang kawasan pecinan. 

Melewati gerbang tersebut, di kedua sisi jalan sepanjang sekitar 700 meter itu, berjejer puluhan toko. Sebagian besar berupa toko sepatu atau toko bahan pakaian. Toko sepatu kebanyakan milik saudara kita keturunan Tionghoa dan toko pakaian milik keturunan India.

Bangunan dekat tempat parkir (dok pribadi)
Bangunan dekat tempat parkir (dok pribadi)

Jadi, warga ibu kota jadul, kalau belanja sepatu atau bahan pakaian, pasti ingatnya Pasar Baru. Tapi setelah mal dibangun di berbagai pelosok ibu kota, kepopuleran Pasar Baru pun memudar.

Dok pribadi
Dok pribadi

Saya tidak merasa heran waktu berjalan-jalan di Sabtu kemarin, yang notabene adalah hari libur alias hari untuk belanja, mendapatkan suasana yang relatif sepi.

Namun beberapa orang turis bule ternyata masih dijumpai. Memang kawasan ini tercantum pada brosur panduan wisata kota Jakarta dan sepertinya menjadi acuan bule-bule itu yang terlihat memegang brosur.

Toko yang sepi (dok pribadi)
Toko yang sepi (dok pribadi)

Namun jelas dibandingkan dengan era kejayaan Pasar Baru dulu, bule yang berkunjung makin berkurang. Dulu saya masih sering menjumpai pedagang uang asing yang sambil berdiri di pinggir jalan menawarkan rupiah atau dolar, pertanda banyak turis yang ke sana.

Tentu kurs dari pedagang valuta asing gelap itu lebih mahal bagi pembeli dolar atau lebih murah bagi penjual dolar, bila dibandingkan dengan menukar uang di money changer resmi.

Yang lagi ada pengunjung (dok pribadi)
Yang lagi ada pengunjung (dok pribadi)

Tujuan saya di samping cuci mata adalah mencari sepatu. Tapi berhubung saya belum salat zuhur, saya cari masjid dulu, yang ternyata tidak ada di sepanjang Pasar Baru.

Justru dari hasil celingak-celinguk, terlihat petunjuk adanya musala yang masuk ke sebuah gang. Gak tahunya itu adalah Gang Kelinci. Ini ada lagunya dari penyanyi top era 70-an, Lilis Suryani, yang memang lahir di gang tersebut.

Bakmi Gang Kelinci (dok pribadi)
Bakmi Gang Kelinci (dok pribadi)

Di gang ini ada restoran bakmi legendaris. Ke restoran inilah saya sekalian numpang salat  di musala yang ada di bagian belakangnya. Kalau tidak salah, Bakmi Gang Kelinci tidak membuka cabang di tempat lain. 

Tapi mungkin restoran ini sudah dikelola oleh generasi kedua atau ketiga. Tempatnya makin luas dan bagus, namun rasanya masih nendang yang saya coba ketika restorannya masih kecil sekitar 30 tahun lalu.

Lagi pula harganya relatif ikut standar di mal. Satu porsi bakmi dan segelas jeruk hangat terkena Rp 48.000. Namun restoran ini penuh, sangat kontras dengan toko-toko di Pasar Baru yang sepi pengunjung.

Gang senggol (dok pribadi)
Gang senggol (dok pribadi)

Kemudian saya juga tahu, selain Gang Kelinci, masih banyak gang yang lebih kecil lagi, yang pantas disebut gang senggol. Di sebuah mulut gang senggol saya numpang duduk di bangku penjual es podeng untuk mengambil foto.

Eh akhirnya saya tergoda juga mencicipi es podeng seharga Rp 10 ribu itu. Cukup enak sih. Nah  setelah itu baru saya  bergerak menjelajahi beberapa toko sepatu.

Ada bule (dok pribadi)
Ada bule (dok pribadi)

Saya masuk ke sekitar lima toko, ada yang lagi kosong pelanggan, ada juga yang sedang melayani beberapa pengunjung. Akhirnya saya berhasil juga menenteng sepasang sepatu, pengganti sepatu lama saya yang rusak.

Kesan saya di samping agak sepi, Pasar Baru juga agak semrawut. Pasalnya, mobil dan motor yang dulu tak boleh masuk, sekarang sudah boleh lagi. Saya yang tak tahu, memilih parkir di luar gerbang masuk.

Namun parkir di sini diduga dikuasai  beberapa orang preman, meskipun mereka memakai seragam yang terlihat dipakai asal-asalan. Saya ditarik biaya parkir Rp 10 ribu tanpa dikasih tanda terima. 

Bangunan peninggalan Belanda (dok pribadi)
Bangunan peninggalan Belanda (dok pribadi)

Jika pengunjung ingin menikmati gedung dengan arsitektur Belanda, masih tersisa beberapa gedung di bagian luar pasar, sejajar dengan gerbang masuk. 

Sedangkan deretan toko-toko di sepanjang Pasar Baru, tampaknya sudah gedung era sekarang, atau paling tidak sudah berarsitektur era setelah kita merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun