Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Soal Tema Film yang Variatif, Belajarlah dari India

30 Agustus 2019   21:52 Diperbarui: 31 Agustus 2019   18:58 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film My Name is Khan, dok. bharatstudent.com

Kebetulan pada hari Minggu (11/8/2019) saya menonton dua film India secara maraton yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Film tersebut berjudul Bajrangi Baijhaan dan My Name is Khan. Beberapa tahun lalu, film tersebut diputar di sejumlah bioskop di Indonesia.

Dua film tersebut bukanlah film India biasa yang penuh tarian dan nyanyian yang lebai. Juga bukan film drama percintaan dengan liku-liku yang menyedihkan dan mengobral air mata. Bukankah ada istilah nangis bombay, yang mengacu ke Kota Bombay (sekarang ditulis Mumbai), pusat produksi film India.

Dari kota Bombay pulalah lahir istilah Bollywood, yang tidak kalah dari Hollywood di Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan industri perfilman. 

Ratusan film setiap tahun diproduksi di Mumbai, dan India beruntung karena masyarakatnya merupakan pencinta fanatik film-film nasional mereka. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, tentu merupakan pasar yang amat besar bagi industri film mereka.

Namun sejak beberapa tahun terakhir ini, banyak pula film India yang berhasil menembus pasar Eropa dan AS. Kedua film di atas adalah contoh film India yang sukses secara internasional. 

Film India yang mengangkat isu sosial politik yang sensitif, lebih berpeluang diterima publik  di luar India dan menuai apresiasi dari para kritikus film atau mendapat penghargaan dari berbagai festival film.

Bajrangi Baijhaan mengisahkan seorang anak perempuan usia 4 tahun yang terpisah dari ibunya saat berada di kereta api di wilayah Pakistan. Ketika itu kereta lagi berhenti karena mengalami kerusakan. Si anak turun keluar kereta, sedang si ibu lagi tertidur. Tak tahunya kereta setelah itu berjalan lagi, sementara si anak tertinggal.

Tanpa disadarinya, si anak telah masuk ke wilayah India. Bagaimana kisah si anak yang ditolong oleh seorang pemuda India untuk mencari ibunya dengan mengantar si anak masuk Pakistan melalui jalur tikus berupa terowongan bawah tanah yang illegal, menjadi sajian utama film tersebut. 

Tergambar pula dengan jelas bagaimana peliknya ketegangan antara dua negara bertetangga namun sering terlibat konflik di kawasan perbatasannya. 

Si pemuda yang ditangkap polisi Pakistan akhirnya dibebaskan berkat bantuan wartawan yang meliput dan bantuan masyarakat di perbatasan India dan Pakistan yang kompak mempriorotaskan masalah kemanusiaan ketimbang masalah politik.

Adapun kisah dalam film My Name is Khan tidak kalah hebatnya. Khan adalah seorang India muslim penderita penyakit sindrom asperger yang menjadikannya sulit berkomunikasi dengan orang lain, namun memiliki IQ yang tinggi. Khan bersama ibunya yang seorang janda dan adik lelakinya tinggal di kawasan kumuh di Mumbai.

Ceritanya berkembang ketika adik Khan dapat beasiswa ke AS, kemudian sang ibu meningggal dunia. Khan diajak adiknya untuk tingal di Amerika. Nah di sinilah berbagai problem terjadi.

Kebetulan adik Khan punya istri seorang psikolog yang mampu mendeteksi kelainan yang diderita Khan sekaligus memberikan terapi. Khan setelah itu bisa hidup mandiri di San Fransisco dan bekerja sebagai salesman produk kecantikan.

Khan menikahi seorang janda berdarah India beragama Hindu yang punya satu anak. Namun tragedi 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar WTC di New York telah mengubah hidup Khan.

Jalan Allah adalah jalan penuh cinta bukan kebencian, sangat diyakini oleh Khan. Makanya ia bersahabat dengan etnis dan pemeluk agama yang berbeda. Sayangnya ia malah dicurigai sebagai teroris.

Khan ingin sekali bertemu Presiden AS untuk menjelaskan bahwa ia bukan teroris. Tapi justru karena itu ia diringkus polisi.  Untung kemudian ia dilepaskan karena terbukti Khan yang malah berjasa memberi informasi tentang adanya seseorang yang berniat menggerakkan aksi terorisme berdalih membela agama.

Dari dua film di atas, jelas bahwa tema film India semakin variatif. Sangat berbeda dengan gaya film India dulu yang  tak jauh beda dengan apa yang ditampilkan sinetron Azab di televisi kita saat ini.

Bagi industri film Indonesia, ada baiknya belajar dari India. Selama ini film Indonesia banyak yang berkiblat ke Hollywood, padahal secara sosial budaya, juga di bidang ekonomi dan politik, Indonesia lebih mirip India dan sangat berbeda dengan AS.

Sebetulnya tema film  nasional juga lumayan variatif. Beberapa tahun lalu ada film Tanah Air Beta yang mengangkat kisah di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste.  

Juga pernah ada film 99 Cahaya di Langit Eropa yang juga mengungkap hubungan aksi terorisme dengan kecurigaan masyarakat di Eropa dan Amerika terhadap warga minoritas muslim di sana.

Namun akan lebih baik bila muncul pula film bertemakan kisah tenaga kerja wanita dari Nusa Tenggara Timur yang mendapat perlakuan yang tidak layak di negeri jiran Malaysia. Atau tentang  mahasiswa asal Papua yang menuntut ilmu di Pulau Jawa, yang tentu dibalut dengan bumbu drama agar punya daya jual.

Contoh di atas bisa ditambah dengan berbagai kisah anak bangsa yang lain dengan benang merahnya adalah bagaimana kita yang terdiri dari berbagai suku dan agama ini, bisa tetap rukun.

Media film merupakan alat sosialisasi yang ampuh dan sekaligus juga menguntungkan secara finansial bila digarap dengan baik dan dipromosikan dengan tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun