Sebetulnya saya tidak tega lagi kalau masih saja menulis artikel di seputar musibah matinya listrik yang terjadi Minggu (4/8/2019) yang lalu. Apalagi hampir semua tulisan yang membahas hal serupa menyudutkan satu pihak, yakni PLN yang dinilai tidak sigap dalam menangani musibah tersebut sehingga perlu waktu sampai belasan jam untuk memulihkannya.
Tapi saya tetap tergelitik ingin mengomentari sebuah berita yang saya baca dari katadata.co.id (6/8/2019), yang berjudul "PLN Potong Gaji Karyawan untuk Bayar Kompensasi Listrik Mati 2 Hari". Disebutkan bahwa total kompensasi yang akan dibayarkan PLN sebesar Rp 839 miliar yang akan ditanggung renteng oleh sekitar 40.000 orang karyawan.
Memang serba salah jadinya, bak makan buah simalakama. Soalnya kalau PLN tidak memotong gaji karyawan, tentu akan memperparah kinerja keuangan perusahaan. Padahal bila PLN merugi, pada akhirnya menjadi beban pemerintah juga yang harus menyuntikkan tambahan modal dari anggaran negara agar PLN bisa diselamatkan.
Maka bila gaji karyawan yang dipotong, tentu yang ngedumel adalah semua karyawan bersama istri dan anak-anaknya. Tapi ini tidak akan membuat jebol kas perusahaan, hanya ada pengalihan pos pengeluaran. Sebagian uang keluar yang seharusnya untuk gaji dialihkan buat kompensasi kerugian bagi konsumen PLN.
Wajar bila akhirnya yang dipilih manajemen PLN adalah memotong gaji karyawan, termasuk gaji direksi. Dalam penjelasan dari manajemen PLN, yang dipotong bukan gaji dasar karyawan, tapi komponen tunjangan yang memang bersifat fluktuatif tergantung kinerja masing-masing karyawan.
Hanya masalahnya adalah, tanpa memandang kadar kesalahan setiap karyawan yang menyebabkan munculnya musibah blackout, yang tak terkait pun, misalnya karyawan PLN di luar pulau Jawa ikut kena getahnya.
Kalau betul penyebabnya adalah gara-gara pohon sengon yang ada di Desa Malon, 28 km di selatan kota Semarang, apakah demikian susah mencari karyawan atau pejabat yang harus bertanggung jawab?Â
Tidakkah PLN punya petugas yang pekerjaan utamanya memantau secara rutin aset pentingnya, termasuk memastikan keamanan dari faktor alam atau lingkungan? Aset penting di wilayah Semarang, menjadi tanggung jawab siapa?
Bila pihak manajemen lalai sehingga tidak rapi dalam menyusun job description, harusnya yang terkena pemotongan gaji hanya kelompok pejabat yang punya kewenangan, bukan karyawan rendah yang telah bekerja sesuai instruksi yang diterimanya.
Jika tidak ditemukan unsur kelalaian sehingga disimpulkan sebagai kecelakaan karena faktor alam yang tidak bisa dikendalikan, ya mau tak mau jadi beban perusahaan, bukan beban karyawan.
Toh bila tidak ingin biaya kompensasi merusak pencapaian target laba perusahaan, masih bisa mengorbankan pos biaya lain seperti perjalanan dinas pejabat, biaya berbagai seremoni, biaya rapat kerja, biaya promosi, dan sebagainya.
Atau karena kerugiannya demikian besar, ya sudahlah, yang paling praktis memang ditanggung ramai-ramai saja, sekaligus sebagai pertanda kekompakan. Tapi kalau sama rata sama rasa itu bukan merit system namanya.
Maka sebaiknya PLN tidak buru-buru memotong gaji semua karyawannya. Sekiranya betul mekanisne pembayaran kompensasi adalah melalui potongan tagihan listrik kepada semua pelanggan yang terkena musibah, biarkan dulu jumlah penerimaan PLN berkurang.Â
Nanti setelah selesai dilakukan audit yang menyeluruh dan jelas di mana sumber kesalahannya, baru ditetapkan siapa saja yang akan menomboki kekurangan penerimaan karena pembayaran kompensasi tersebut.Â
Untuk meringankan pejabat dan karyawan yang bersalah, pemotongan gajinya tidak dilakukan sekaligus, tapi dapat dicicil setiap bulan selama beberapa tahun.
Logikanya pejabat yang lebih tinggi posisinya, lebih besar pula tanggung jawabnya, dan otomatis lebih besar juga potongan gaji atas kelalaiannya. Meskipun yang lalai itu mungkin anak buahnya di level bawah, tapi itu suatu bukti bahwa proses pengawasan dari atasan tidak berjalan dengan baik.
Begitulah ternyata drama mati lampu masih menyisakan kisah sedih. Setelah jutaan konsumen yang kecewa berat, kini giliran puluhan ribu karyawan PLN yang bermuram durja. Semoga semangat kerja mereka tetap tidak berkurang agar musibah serupa tidak terulang lagi.
Jadi lengkap sudah, semua pihak menjadi korban. Konsumen baik berupa rumah tangga, pemerintah ataupun perusahaan swasta, dan juga orang dalam PLN telah berkorban dengan cara masing-masing.
Kompensasi kerugian kalaupun nanti diterima oleh konsumen, hanya berupa pelipur lara. Pada hakikatnya, kehilangan kesempatan karena waktu yang terbuang percuma, tak ternilai harganya dan tak bisa kembali lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H