Makin banyak saja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tersandung kasus korupsi. Berita terbaru, tiga orang direktur Perum Perindo terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti yang ditulis detik.com (24/9/2019). Ironisnya, saat kena OTT KPK, Direksi Perum Perindo lagi rapat di Bogor.
Perum Perindo memang tidak seterkenal BUMN lain, bahkan justru nama sebuah partai yang kebetulan sama dengan nama BUMN yang bergerak di bidang bisnis perikanan tersebut, lebih dikenal masyarakat.
Jarang-jarang diliput jurnalis, eh sekali diberitakan justru yang negatif, Perum Perindo terseret kasus jatah impor ikan. Sesuatu yang kontradiktif, Indonesia yang merupakan negara bahari, kok malah mengimpor ikan.
Terlepas dari gonjang ganjing yang sedang melanda KPK saat ini terkait dengan adanya UU KPK yang baru yang justru dinilai memperlemah KPK, harus diakui bahwa KPK telah berhasil menjadi momok yang menakutkan bagi BUMN. Banyak perubahan dalam tata kelola di BUMN agar tidak berurusan dengan KPK.
Maksudnya tidak berurusan adalah dalam kaitannya dengan OTT. Tapi dalam kenyataannya, banyak BUMN yang "mengambil hati" KPK dengan cara mengundang ketua atau wakil ketua KPK melakukan sosialisasi pencegahan korupsi dan sama-sama menandatangani komitmen pengendalian gratifikasi di lingkungan BUMN tersebut.
Selain adanya komitmen di atas, sebetulnya di semua BUMN sudah ada standar operasional dan prosedur (SOP) dalam rangka mencegah korupsi.Â
Prosedur pengadaan barang dan jasa, sebagai contoh dari aktivitas rutin yang termasuk rawan penyelewangan, telah diatur sedemikian rupa. Demikian juga dalam peraturan kepegawaian, sangat jelas hak dan kewajiban pegawai, serta apa yang dilarang dan apa sanksinya.
Namun masih maraknya korupsi di BUMN mengundang pertanyaan, apakah pengawasan berlapis yang diterapkan setiap BUMN hanya macan kertas saja yang dalam praktiknya masih belum bisa berjalan dengan baik?
Disebut berlapis, karena di tingkat internal saja ada yang disebut dengan first line of defense (FLD), second line of defense (SLD), dan third line of defense (TLD). FLD maksudnya adalah semacam built in control yang melekat pada atasan masing-masing pegawai atau yang sudah tertanam pada sistem dan budaya kerjanya.
Sedangkan SLD adalah unit kerja manajemen risiko yang memberikan warning serta unit kerja kepatuhan yang mengecek segala sesuatu telah mematuhi ketentuan internal atau ketentuan dari regulator yang berlaku.
Bila SLD bersifat pencegahan, maka TLD bersifat penindakan atas sesuatu penyimpangan yang telah terjadi. Unit kerja yang melakukan TLD adalah Satuan Pengawasan Intern.
Karena masih banyak terjadi kasus korupsi di lingkungan BUMN, Menteri BUMN telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-2/MBU/07/2019 tentang Pengelolaan BUMN yang Bersih Melalui Implementasi Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Penanganan Benturan Kepentingan serta Penguatan Pengawasan Intern.
Surat Edaran tertanggal 29 Juli 2019 tersebut antara lain meminta BUMN melaksanakan Panduan Cegah Korupsi (CEK) bagi Dunia Usaha yang dikembangkan oleh KPK, menegakkan penanganan benturan kepentingan mulai dari tingkat korporat, direktorat, sampai dengan pelaksanaan tugas karyawan.Â
Satuan Pengawasan Intern BUMN juga diperkuat agar efektif mengamankan investasi dan aset BUMN.
Jelaslah bahwa secara aturan main, sebetulnya tidak kurang ketentuan yang diatur dalam SOP pencegahan korupsi. Pertanyaannya, kenapa masih banyak BUMN yang berkubang kasus korupsi?
Barangkali karena terlalu banyak kepentingan yang bermain di BUMN. Stakeholder-nya mulai dari Kementerian BUMN yang berwenang melakukan penggantian pengurus (Direksi dan Komisaris), Kementerian Keuangan berkaitan dengan setoran pajak dan dividen, politisi di parlemen yang berwenang memanggil pengurus BUMN dalam rangka pengawasan, dan juga para vendor, supplier, pelanggan, karyawan, kreditur, dan sebagainya.
Maka semakin besar suatu BUMN, semakin besar pula proyek-proyeknya, dan semakin banyak pula "semut" yang mengerubungi. Godaan para semut itu sungguh kuat, apalagi kalau si semut ikut berjasa dalam kesuksesan karir pejabat BUMN tersebut.
Kalau sudah seperti itu, SOP pencegahan korupsi pun dengan berbagai cara sengaja tidak dilaksanakan. Semakin berpengalaman si pejabat, semakin halus mainnya dan tentu semakin sulit diendus. Yang terkena OTT KPK dianggap lagi apes saja, karena diduga banyak yang aman saja dan terkesan seolah-olah telah mematuhi SOP.
Pertanyaan berikutnya, kalau begitu untuk apa SOP dibuat, bila akhirnya menjadi pemanis saja? Ya, SOP mutlak perlu karena menjadi wajib bagi perusahaan masa kini. Hanya saja menjadi kurang bernyawa, bisa jadi ada kekurang-ikhlasan dalam membuatnya.Â
Tanpa SOP yang komprehensif pun, BUMN sebetulnya bisa lebih baik, dengan syarat orang-orangnya punya integritas yang kuat dan tidak takut kehilangan jabatan.Â
Bukan tidak takut jabatannya lepas karena ditangkap KPK, tapi tidak takut gara-gara tidak disukai mereka yang ingin menggerogoti BUMN. Padahal yang tidak menyukai itu mungkin punya pengaruh di lingkaran kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H