Kebetulan saja dalam beberapa hari terakhir ini isu tentang rasialis kembali mencuat setelah ada aksi massa menolak rasis dan persekusi di beberapa kota di Papua dan Papua Barat.Â
Saya juga menonton siaran langsung beberapa pertandingan Liga 1 di mana ada pemain asal Papua yang membentangkan kertas bertuliskan "say no to racism" dan memperlihatkannya ke depan kamera televisi, sehabis ia mencetak gol.
Tapi tulisan saya berikut ini tidak berkaitan dengan aksi demo di Papua, meskipun pesan agar kita mengikis perilaku rasialis antar saudara se tanah air, tetap relevan dengan tulisan ini.
Begini, sewaktu saya pulang kampung ke Sumatera Barat, tanggal 2 sampai 4 Agustus 2019 yang lalu, tepatnya di hari terakhir sewaktu mau kembali ke Jakarta dan berniat membeli oleh-oleh kripik balado khas Padang, dari sanalah cerita bermula.
Pak sopir yang mengantarkan saya sekaligus juga menjadi pemandu wisata, dengan panjang lebar bercerita tentang beberapa toko oleh-oleh  yang terkenal di kalangan para wisatawan domestik maupun dari luar negeri (khususnya dari Malaysia dan Singapura). Maksudnya agar saya memilih salah satu toko karena sebelumnya saya telah mengutarakan niat buat mencari oleh-oleh.
Saya akhirnya membeli di sebuah toko yang lumayan luas, bukan karena penjualnya adalah urang awak asli, namun karena tertarik dengan keterangan pak sopir yang mengatakan di toko itu pengunjung bebas melihat proses produksi oleh-oleh yang dibikin di situ, khususnya kripik balado.
Makanya pada artikel ini, saya hiasi dengan beberapa foto yang menunjukkan proses tersebut, dari bahan bakunya berupa singkong, pengggorengannya, sampai pada pengemasan.
Saking berkembangnya toko oleh-oleh di Pondok tersebut, sekarang sudah dibuka cabangnya dengan area yang lebih luas lagi, tidak jauh dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Nah, di sinilah saya sedikit tercenung dan mengajukan pertanyaan dalam hati yang saya masih belum tahu jawabannya.