Ketika saya berada di Payakumbuh, Sumbar, Sabtu (3/8/2019), saya secara tidak terencana mendatangi kantin sekolah di SMK Negeri 2 yang berlokasi sekitar 3 kilometer dari pusat kota arah ke barat.Â
Sebetulnya saya ada kegiatan di sebelah sekolah tersebut. Tapi saya datang terlalu cepat dan karena itu ingin mencari minuman sambil menunggu waktu dimulainya acara yang telah saya agendakan.
Kantin yang terletak di bagian belakang sekolah dan agak tersembunyi itu sungguh mengagetkan saya. Dalam bayangan saya yang namanya kantin sekolah pasti kurang nyaman.
Soalnya sewaktu saya bersekolah tahun 70-an dulu, tak ada yang namanya kantin yang dikelola pihak sekolah. Yang disebut kantin adalah warung yang diberi izin oleh pihak sekolah berjualan makanan di dalam komplek sekolah atau warung biasa yang berdekatan dengan sekolah.
Demikian juga waktu saya sudah berkeluarga dan tingggal di Jakarta. Sesekali saya datang ke sekolah anak saya, ada yang di SD 19 Tebet Timur, SMP 115 Tebet dan SMA 8 Manggarai, semuanya di Jakarta Selatan, saya hanya melihat kantin yang biasa saja.
Tapi yang saya lihat di SMK 2 Payakumbuh sudah serupa pujasera yang rapi. Saya hitung ada sepuluh pedagang yang masing-masing punya tempat memasak dan memajang makanan yang relatif bersih. Lalu di depannya berjejer meja dan kursi buat yang memesan makanan.
Pertama, Uni Eli, sebut saja begitu nama pedagangnya, merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat di kantin SMK 2 Payakumbuh.Â
Soalnya waktu kantin yang lumayan luas itu dibangun beberapa tahun lalu, ada banyak pedagang yang berminat. Tapi tampaknya mereka yang ada hubungan kekeluargaan dengan salah seorang guru di sana yang akhirnya dapat tempat. Seperti Uni Eli yang ternyata kerabat seorang guru senior.
Namun ada uang yang harus dibayarkan para pedagang itu per tahun. Besarnya adalah Rp 2 juta, artinya dari semua pedagang sekolah dapat Rp 20 juta. Hanya saja ketika saya tanya apakah betul-betul untuk sekolah, untuk komite orangtua murid dan guru atau koperasi sekolah, Uni Eli tidak tahu pasti.
Dan harus diingat pula, kalaupun lagi buka kantin, lamanya melayani pelanggan hanya 20 menit yakni selama istirahat pertama sekitar jam 9.30. Pada istirahat kedua di SMK tersebut siswa dibolehkan keluar pagar sekolah sehingga banyak yang ke luar buat merokok.
SMK ini yang punya siswa sekitar 1.500 orang, memang mayoritas laki-laki karena SMK-nya di bidang teknik, zaman dulu disebut STM. Makanya banyak yang "membakar" uang jajannya.Â
Jadi selama 20 menit itulah para siswa memburu kantin. Jika satu kantin kebagian seratus siswa saja, sudah menggembirakan buat pedagang.
Tapi jangan bayangkan omzetnya besar, kata Uni Eli. Soalnya uang saku siswa yang tersisa setelah dipotong ongkos angkot, biasanya sebanyak Rp 10.000.Â
Makanya harga seporsi makanan rata-rata adalah Rp 5 ribu sampai 6 ribu. Air putih gratis, tapi banyak siswa yang menyeduh minuman dalam kemasan seharga Rp 3 ribu hingga 4 ribu. Makanan yang dijual antara lain bakmi, bubur, sate, dan soto.
Saya sungkan bertanya berapa keuntungan Uni Eli setiap hari. Tapi dugaan saya berkisar Rp 100.000 hingga 150.000. Apakah itu jumlah yang besar atau kecil? Terserah penilaian masing-masing orang. Yang jelas Uni Eli merasa bersyukur.
O ya ada hal positif lainnya yang saya lihat di kantin itu. Terpampang beberapa poster tentang bagaimana memilih jajanan yang sehat yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh.
Tentu kalau siswa dan pedagang mengikuti petunjuk pada poster itu, masalah jajanan sehat yang masih langka di banyak sekolah, di SMK 2 Payakumbuh dapat terpenuhi dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H