Tentu tradisi Jawa lainnya yang dinilai tidak klop seperti memandikan calon pengantin, calon pengantin menginjak telur, tetap tidak dipakai oleh orang Minang.Â
Justru tradisi berpantun antara wakil keluarga mempelai wanita dengan wakil keluarga mempelai pria, yang cenderung lama dan bertele-tele di mata anak muda, tetap bertahan.Â
Soalnya ini bukan sembarang pantun. Tapi sekaligus meneliti apakah ada persyaratan yang dibawa pihak keluarga mempelai wanita yang masih kurang, agar calon mempelai pria dapat dibawa ke rumah si wanita tempat akad nikah akan berlangsung.
Saking lamanya berpantun, setelah semua persyaratan lengkap dan para tamu dipersilakan makan, hidangannya sudah dingin semua.
Berhubung saya bukan pakar budaya Minangkabau, saya belum tahu apa kriteria unsur budaya baru yang bisa diterima dan apa unsur budaya lama yang tidak boleh diubah atau dihilangkan. Yang jelas budaya bukan bersifat statis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H