Dulu, bila penumpang bus atau mereka yang membawa kendaraan pribadi akan melaksanakan ibadah salat dalam perjalanan dari Padang ke Payakumbuh sejauh 125 km atau sebaliknya, tidak ada masjid yang bagus yang membuat pengunjungnya nyaman berlama-lama.
Jumlah masjid di sepanjang jalan raya tersebut memang relatif banyak, tapi rata-rata hanya masjid sederhana yang biasa terdapat di desa-desa. Masjid ini diperuntukkan bagi masyarakat di desa tempat masjid itu dibangun. Jadi kalaupun disinggahi oleh pengendara, lebih bersifat kebetulan.
Adapun masjid yang lebih bagus terdapat di pusat kota dari beberapa kota yang terletak antara Payakumbuh dan Padang. Namun biasanya untuk memepercepat waktu tempuh, kendaraan pribadi tidak mau masuk pusat kota, tapi ikut jalur  bus dan truk yang memang tidak diperkenankan masuk kota.
Sebagai contoh, sebelum memasuki kota Bukittinggi, kendaraan dari Payakumbuh dengan tujuan Padang akan belok kiri, lalu menyisir pinggiran kota. Kemudian kembali ke jalur utama setelah kawasan kota Bukittinggi terlewati. Demikian juga ketika akan memasuki Padang Panjang.Â
Saya sebut mungil dalam arti kapasitasnya lebih kecil bila dibandingkan dengan masjid yang menyandang nama "masjid raya" Â atau "masjid agung". Hanya ada sekitar 10 saf (baris) yang dibagi dua untuk jamaah pria dan wanita.Â
Pertama, Masjid An-Nur yang terletak di nagari (sebutan desa di Sumbar) Piladang, tak begitu jauh setelah melewati batas kota Payakumbuh. Meski di pinggir jalan, karena posisinya yang tinggi, pengunjung harus melewati sejumlah anak tangga agar bisa sampai di masjid.
Tapi jangan khawatir dengan tangga tersebut karena cukup lebar dan aman. Bahkan di kanan dan kiri tangga terdapat area hijau yang cocok untuk latar belakang berfoto.
Dari prasasti pendiriannya, ternyata masjid ini dibangun secara pribadi oleh seorang dermawan dan baru diresmikan 10 Februari 2019. Makanya masjid ini terlihat rapi dan relatif bersih. Hiasan kaligrafi di bagian dalam masjid juga terlihat menarik.
Hanya saja masjid ini karena sudah sekitar 5 tahun berdiri, mulai terlihat membutuhkan perawatan dan tidak sebersih An-Nur.Â
Namun karena sudah lama itu pula, terlihat banyak aktivitas yang dilakukan pengurusnya seperti terpampang pada foto-foto dan laporan keuangan masjid yang ada di papan informasi.
Baik An-Nur maupun Nurul Ilmi punya lapangan parkir yang luas sehingga betul-betul pas bagi pengendara yang ingin berhenti sejenak sekalian menunaikan ibadah. Ibarat pepatah "ada gula ada semut", maka di hari libur bermunculan para pedagang makanan dan minuman di halaman kedua masjid tersebut.
Namun biasanya masjid tersebut tidak stand alone seperti yang saya contohkan, karena menajadi bagian dari rest area dan menyatu dengan tempat pengisian bahan bakar, mini market dan tempat makan.Â
Justru masjid seperti itu, mohon maaf, bisa saja diragukan "keikhlasan" niatnya saat dibangun. Siapa tahu, jangan-jangan niatnya tercampur dengan strategi bisnis, agar omzetnya melonjak.
Terlepas dari soal niat karena hanya pribadi yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu, fenomena membangun masjid yang menawan di daerah perlintasan, sekarang kian berkembang menjadi objek wisata. Wajar kalau masyarakat menyambutnya dengan antusias.