Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang terjadi tepat 74 tahun yang lalu bukanlah tujuan akhir bangsa kita. Kemerdekaan hanyalah "jembatan emas", agar kita bisa menempuh perjalanan menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Namun kenyataannya, terlepas dari berbagai kemajuan yang telah kita capai, masyarakat yang adil dan makmur bagi semua orang itu, masih perlu diperjuangkan lebih keras lagi.
Musuh utama yang masih menjadi penghambat selama 74 tahun kita merdeka adalah masih merajalelanya para koruptor. Kemarin, Jumat (16/8/2019) Presiden Jokowi telah menyampaikan pidato kenegaraan yang antara lain memaparkan rencana pembangunan yang akan lebih gencar lagi di tahun mendatang.
Tapi sekali lagi, semua rencana yang bagus itu, bila tetap disertai kebocoran yang mengucur ke saku para koruptor, tentu efektivitasnya akan jauh berkurang.
Saya pernah menulis di sini tentang tidak kapok-kapoknya para koruptor beraksi. Tulisan tersebut telah mendapat banyak tanggapan dari teman-teman Kompasianer. Berbagai komentar itu dapat disimpulkan bermuara pada usulan agar diterapkan hukuman mati bagi koruptor, biar yang lain pada nyahok.
Sangat mungkin teman Kompasianer yang meminta agar diberlakukan hukuman mati, juga meragukan apakah usul tersebut akan didengar oleh pihak yang berwenang. Namun harus diakui, usul seperti itu bisa lahir secara spontan karena banyak dari kita yang sudah kehabisan akal, apa lagi yang perlu dilakukan agar korupsi bisa berhenti.
Tampaknya memang hukuman mati itu yang belum dicoba. Hanya sekadar terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih nggak ngefek. Tidak menimbulkan efek jera. Padahal KPK-lah yang sekarang menjadi tumpuan utama masyarakat karena independensinya relatif masih terjaga.
Bayangkan, sumpah jabatan yang diucapkan para pejabat saat dilantik, tidak lagi bernilai sakral, hanya sekadar formalitas belaka. Pengawasan berlapis dari pihak internal dan eksternal dari suatu instansi pun, tak membuat kasus berkurang.
Gaji aparat negara sudah pula dinaikkan. Ditambah lagi gaji ke 13 dan juga THR. Tapi syahwat korupsi tidak surut. Gaji aparat hukum juga naik agar tidak main mata dengan koruptor yang disidangkan. Tapi masyarakat masih dibuat geram karena hukuman yang dijatuhkan buat para koruptor masih relatif ringan.
Demikian pula karir pegawai negeri sudah diatur agar mereka yang kompeten bisa memperoleh promosi jabatan. Bahkan katanya pakai sudah metode lelang jabatan secara terbuka yang bisa dilamar oleh yang memenuhi syarat serta mengikuti seleksi secara objektif. Tapi malah masih ada yang terkena kasus korupsi karena menerima gratifikasi dari anak buah yang dipromosikan.
Sistem tender dalam pengadaan barang sudah pakai e-procurement. Lalu lintas pembayaran sudah pula menerapkan sistem non tunai. Nyatanya korupsi dari pengadaan barang atau pengadaan proyek masih saja bermunculan.