Bahwa seorang penyandang disabilitas tidak boleh didiskriminasi dengan tidak membolehkannya beraktivitas seperti orang lain, sudah banyak masyarakat yang mengetahuinya.
Tapi untuk menerapkannya ternyata tidak gampang, bahkan oleh instansi pemerintah sekalipun. Baru-baru ini ramai diberitakan seorang dokter gigi wanita di Sumatera Barat, Romi Sofa Ismail, dibatalkan sebagai calon Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, Sumbar.
Beritasatu.com (25/7/2019) menulis bahwa pembatalan tersebut diduga karena karena Romi adalah penyandang disabilitas. Padahal ia sudah lulus tes dengan nilai tertinggi dan lulus tes kesehatan.
Drg. Romi Sofa Ismail dinyatakan lulus sebagai calon ASN tahun 2018 lalu, namun pada bulan Maret 2019 melalui surat Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria kelulusannya dibatalkan.
Saat ini Romi yang sejak tahun 2016 menggunakan kursi roda tetap bekerja sebagai dokter pegawai kontrak daerah di salah satu puskesmas di Solok Selatan. Dalam liputan salah satu stasiun televisi terlihat Romi bisa menangani pasiennya sambil duduk di kursi roda.Â
Bupati Solok Selatan mungkin belum mengetahui ada banyak sekali orang yang sukses berkarir meskipun menggunakan kursi roda.Â
Tak perlu memberi contoh dari luar negeri seperti fisikawan sangat terkenal mendiang Stephen Hawking. Di negara kita ada seorang Handry Satriago, orang Indonesia pertama yang dipercaya menduduki CEO GE Indonesia, bagian dari GE Company, salah satu perusahaan terbesar dunia.
Handry pernah diundang berceramah di sebuah BUMN tempat saya bekerja, karena ia juga seorang motivator. Tak ada kendala baginya untuk menunjukkan kemampuan dalam memimpin perusahaan yang juga banyak stafnya yang berstatus WNA.
Maka untuk kasus drg. Romi, sebaiknya diberi kesempatan untuk mengabdi sebagai ASN. Langkah yang diambil drg. Romi dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang untuk mengajukan gugatan, merupakan hal yang tepat.
Memang ada semacam kontradiksi dalam dunia tenaga kerja kita terkait penyandang disabilitas. Di dekade 80-an, di universitas negeri tempat saya kuliah ada 2 orang dosen yang menyandang disabilitas. Dosen tersebut berstatus ASN. Tak ada masalah karena tugas-tugasnya bisa dilakukan dengan baik.
Kemudian waktu saya mulai bekerja di sebuah BUMN, saya melihat mulai ada pembatasan. Yang diterima bekerja, selain lulus tes psikologi dan berbagai tes lainnya, juga dilihat penampilan fisikya. Â
Jangankan yang disabilitas, yang tinggi badannya di bawah 160 cm (untuk laki-laki) dan di bawah 150 cm (untuk perempuan) pun, tidak diterima.
Namun pada perkembangan berikutnya, sejak sekitar 5 tahun yang lalu, di kantor tempat saya bekerja menerima beberapa tenaga kontrak yang memang  sengaja dipilih yang menyandang disabilitas.Â
Rupanya ada ketentuan pemerintah yang mewajibkan mempekerjakan kaum difabel sebagai wujud pemerataan kesempatan. Hanya tampaknya diterapkan setengah hati karena seperti yang saya lihat, diberikan secara terbatas untuk posisi yang relatif rendah seperti pengantar surat.
Semoga pelaksanaan ketentuan pemerintah tersebut bisa diterapkan dengan sepenuh hati oleh para pejabat di instansi manapun.Â
Untuk drg. Romi semoga kelulusannya sebagai ASN, pembatalannya dibatalkan lagi, sehingga bisa memulai tugasnya dengan status ASN.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI