Sebetulnya di Jakarta sudah sangat lama terdapat toko serba ada, bahkan sejak masih bernama Batavia. Namun dalam pengertian yang lebih modern, yang tercatat sebagai toko serba ada pertama adalah Sarinah yang berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Toko Serba Ada Sarinah yang menempati beberapa lantai di gedung yang juga bernama Sarinah, diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1962 oleh Presiden Soekarno. Gedung tersebut bersama dengan Hotel Indonesia menjadi ikon kota Jakarta karena ketika itu merupakan gedung tinggi yang masih langka di ibu kota.
Sarinah sendiri diambil dari nama salah seorang pengasuh Presiden Soekarno di masa kecilnya (Kompas.com 20/5/2018). Setelah itu, di zaman Orde Baru bermunculanlah pusat perbelanjaan lainnya yang membuat nama Sarinah berangsur pudar. Pusat perbelanjaan dimaksud antara lain adalah Duta Merlin, Pasaraya, dan Ratu Plaza.
Belakangan mal-mal menjamur di kota Jakarta karena menjadi tempat yang terintegrasi tidak saja untuk berbelanja, namun juga rekreasi dengan adanya bioskop dan arena permainan anak-anak. Malah sekarang ini kecenderungannya mal semakin berkembang sebagai tempat makan dan tempat nonton bioskop saja, atau banyak juga pengunjung yang sekadar cuci mata.
Saking banyaknya mal di Jakarta tentu tak terhindarkan lagi terjadinya persaingan yang ketat, sehingga mal-mal yang dianggap tua dan modelnya telah ketinggalan zaman, menjadi sepi.Â
Belum tentu mal-mal yang berdekatan akan memakan korban, karena ada kawasan premium yang masing-masing mal di sana tetap ramai. Sebagai contoh, di kawasan Senayan, ada Plaza Senayan, Senayan City, dan FX Sudirman yang saling berdekatan dan semuanya relatif ramai.
Demikian pula di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan juga di Kelapa Gading, mal-mal yang berdekatan masing-masing punya penggemarnya. Sedangkan di Pondok Indah, ada banyak mal tapi semuanya di bawah nama Pondok Indah Mal (PIM), sehingga ada PIM 1 sampai PIM 3.Â
Adapun di kawasan Jalan Satrio dan terusannya di Jalan Casablanca, memang ada mal yang relatif sepi seperti di Kuningan City dan Lotte Shopping Avenue. Soalnya kedua mal ini kalah bersaing dengan Mal Kota Kasablanka (sering disebut Kokas). Kokas ini menjadi sumber kemacetan panjang saking banyaknya pengunjung ke sana.
Namun kalau kawasannya memang tidak lagi dilirik, maka semua mal di kawasan itu menjadi sepi, seperti di Blok M yang kalah dengan kawasan Senayan yang jaraknya tidak begitu jauh. Maka sejumlah mal di Blok M seperti Pasaraya, Blok M Plaza, Blok M Mall, dan Blok M Square tidak terlalu banyak pengunjungnya.
Memang sejak jalur dan stasiun MRT dibangun, pihak pengelola Blok M Plaza sudah melakukan pembenahan dengan mengubah layout-nya menjadi lebih kekinian, meski tidak mungkin juga menyediakan tambahan fasilitas karena ukuran malnya yang kalah besar dibanding mal-mal di Senayan.
Maka begitu MRT beroperasi, benar saja, Blok M Plaza pun menjadi "hidup" lagi karena inilah mal yang sangat dekat dari stasiun MRT. Di stasiun lain juga ada mal, tapi dengan jarak yang lebih jauh. Mau jalan kaki takut capek, mau nyambung dengan kendaraan lain, tanggung juga.
Tentu saja bagi mal yang se-angkatan dengan Blok M Plaza atau lebih tua lagi, perlu juga melakukan pembenahan. Bahkan pembenahan harus lebih dominan agar tidak tenggelam.Â
Bila Blok M Plaza mempunyai keberuntungan karena dilintasi MRT, mal lain yang kurang strategis lokasinya harus mencari langkah terobosan, misalnya dengan menonjolkan di usaha tertentu, sebegai pembeda dengan pesaingnya. Atau bisa juga menggandeng pengusaha yang sukses di daerah agar berani membuka gerai di Jakarta.
Apalagi saat ini konsumen lebih senang belanja secara daring, membuat tantangan bagi pengelola mal lebih besar lagi. Atau mungkin memang tak terhindarkan lagi, akan ada mal yang rontok.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H