Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tak Sabar Menunggu Film Bumi Manusia, Akankah Berkelas Dunia Seperti Novelnya?

4 Agustus 2019   08:45 Diperbarui: 4 Agustus 2019   09:55 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah membeli dan menamatkan membaca novel Bumi Manusia sekitar 10 tahun lalu. Tapi begitu saya cari kembali di lemari buku, tidak tahu lagi di mana keberadaannya. 

Maka akhirnya saya merasa perlu membeli lagi untuk dibaca ulang, setelah mengetahui novel masterpiece karya sastrawan besar yang pernah menjadi calon kuat peraih Nobel bidang kesusastraan tersebut, sedang dibuat filmnya oleh sutradara Hanung Bramantyo.

Pramoedya Ananta Toer memang luar biasa. Selama menjalani hukuman di Pulau Buru oleh pemerintahan Orde Baru di tahun 1970-an, terciptalah tetralogi yang sangat tinggi nilai sastranya, terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Tapi tentu tidak gampang bagi seorang terhukum karena alasan ideologi politik seperti Pramoedya untuk menerbitkan dan mengedarkan buku-bukunya yang lama berstatus sebagai buku terlarang. Barulah setelah masuk era reformasi, publik di tanah air dengan gampang mendapatkannya.

Untuk Bumi Manusia yang baru saya beli sudah cetakan ke 31 yang dicetak Maret 2019. Selain itu Bumi Manusia juga beredar versi terjemahannya dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Swedia, Norwegia, Spanyol, Perancis, Italia, Ukraina, Rusia, India, Filipina, Malaysia, Thailand, Jepang dan China. 

Edisi bahasa asing tersebut juga banyak yang mengalami cetak ulang. Yang berbahasa Inggris misalnya ada yang dicetak di Inggris dan ada pula yang dicetak di beberapa kota yang berbeda di Amerika Serikat. Jelas tidak berlebihan bila Bumi Manusia disebut sebagai novel Indonesia berkelas dunia.

Bumi Manusia dengan tegas menelanjangi praktik hukum Belanda yang betul-betul diskriminatif terhadap penduduk pribumi. Memang mengikuti kisah cinta pasangan Minke yang asli pribumi dengan gadis Indo yang amat jelita bernama Annalies, seperti menjadi inti dari novel tersebut.

Tapi sesungguhnya yang juga amat menonjol adalah kehebatan seorang Nyai Ontosoroh, yang sewaktu gadis kecil dijual ayahnya sendiri untuk menjadi gundik dari seorang Belanda kaya, Herman Mellema.

Nyai melahirkan dua orang anak, Robert dan Annalies. Robert merasa sebagai orang Eropa dan memusuhi ibunya sendiri, sedangkan Annalies merasa jadi pribumi dan saling bahu membahu dengan ibunya dalam membesarkan perusahaan yang dirintis Herman.

Tidak ada ikatan pernikahan secara legal antara Ontosoroh dan Mellema, sehingga pada akhirnya setelah Herman tewas diracun di sebuah rumah plesiran di Surabaya (setting novel kebanyakan berlangsung di Surabaya dan sekitarnya di penghujung dekade 1890-an), Nyai Ontosoroh harus kehilangan perusahaan dan juga anaknya Annalies. 

Anak Herman dari istri Belandanya, Maurits Mellema, yang akhirnya memperoleh semuanya sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu.

Lebih dari sekadar novel yang tentu saja bersifat fiktif, Pramoedya sangat mampu menghadirkan kondisi sosial di era lebih satu abad yang lalu itu. Makanya pembaca tidak saja hanyut membaca roman percintaan, tapi sekaligus belajar sejarah, sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan ilmu-ilmu lainnya.

Justru karena novelnya dapat dilihat dari banyak perspektif, wajar kalau ada pihak yang meragukan, akankah filmnya mampu mengangkat nilai-nilai yang terkandung di novel ke layar lebar? Jangan-jangan hanya menjadi film drama semata.

Memang harus diakui, Hanung adalah salah satu sutradara muda yang cemerlang. Namun rasanya belum bisa disejajarkan dengan sutradara legendaris Teguh Karya dan Arifin C. Noer. 

Ada juga sutradara sekarang yang sering dapat dapat penghargaan di berbagai festival, yakni Garin Nugroho. Tapi tentu produser punya pertimbangan kenapa film ini tidak jatuh ke tangan Garin.

Belum lagi kalau diomongkan para pemain utama yang dipilih Hanung. Iqbaal Ramadhan yang sukses di 2 seri film Dilan mungkin terlalu manis untuk jadi Minke. 

Sedangkan Mawar Eva de Jongh dan Sha Ine Febriyanti yang kebagian peran Annalies dan Nyai Ontosoroh, namanya belum begitu berkibar dalam kancah perfilman nasional.

Bagaimanapun juga, saya sudah tak sabar untuk menunggu penayangan film Bumi Manusia. Semoga menjadi film yang fenomenal dan menembus pasar internasional sebagaimana yang diraih oleh novel yang mengharumkan nama Pramodya Antata Toer sekaligus juga nama Indonesia di mata dunia itu.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun