Jangan pernah meragukan kecintaan saya terhadap Indonesia. Namun bersamaan dengan itu saya juga mencintai Minangkabau karena saya ditakdirkan lahir sebagai orang Minang.Â
Memang saya sudah lama menjadi penduduk DKI Jakarta, tapi setiap ada yang bertanya saya berasal dari mana, dengan mantap saya menyebut sebagai orang Minang.
Demikian pula kepada anak-anak saya, meskipun semuanya kelahiran Jakarta dan tidak mampu berbahasa Minang, hanya sekadar mengerti bila ada yang berbicara, saya tanamkan pada mereka rasa ke-Minang-an.
Namun saya relatif sering menjumpai orang berdarah Minang di Jakarta yang sudah tidak bangga lagi dengan daerah yang menjadi asal usul kedua orang tuanya. Mereka yang seperti ini lahir dan besar di Jakarta dan orang tuanya pun jarang sekali mengajak pulang menengok kampung halaman.
Ada beberapa alasan kenapa seseorang seperti kehilangan jejak dengan kampung halamannya. Pertama, karena tak ada lagi famili inti di kampung, baik karena sudah meninggal, maupun sama-sama merantau di tempat yang sama atau menyebar.Â
Kedua, orang tuanya memang berniat "merantau cino" yakni istilah orang Minang bagi para perantau yang tak punya keinginan untuk kembali ke kampung.Â
Mungkin dulu pernah dilecehkan, dimarahi habis-habisan oleh orang yang dituakan di kampung, atau bentuk kekecewaan lainnya, termasuk kisah asmara kasih tak sampai. Akhirnya malah menimbulkan dendam dengan putusnya hubungan dengan kampung halaman.
Ketiga, karena alasan ekonomi, tak punya uang untuk pulang kampung dan malu ketahuan tidak berhasil secara materi di perantauan. Ini berkaitan pula dengan konsep harga diri.Â
Keempat, orang tua yang telah lama hidup di rantau menanamkan hal negatif tentang budaya di kampung atau sifat orang-orang se sukunya, sehingga anak-anaknya lebih suka disebut sebagai anak Jakarta, bila memang tinggal di Jakarta.
Padahal sebetulnya tak ada etnis Jakarta. Mereka yang tinggal di Jakarta ini harusnya tahu asal usulnya apakah berdarah Jawa, Sunda, Banten, Betawi, Aceh, Melayu, Batak, Minang, Bugis, Dayak, Bali, Tionghoa, Arab, Indo, dan sebagainya, termasuk campuran dari yang ditulis di atas.
Nah perkawinan campuran tersebut adakalanya melahirkan relasi yang kurang berimbang. Ada teman saya yang menikah dengan gadis Sunda, terus karena kedekatan sang Ibu, anak-anaknya lebih merasa sebagai orang Sunda ketimbang orang Minang.
Saya sendiri punya kakak ipar yang menikah dengan orang Betawi. Dua orang anaknya yang juga sudah berkeluarga belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Ranah Minang.
Ketika saya pancing, ternyata salah seorang keponakan istri saya tersebut sangat ingin melihat desa kelahiran ayahnya. Tapi masalahnya adalah penghasilannya relatif terbatas untuk membeli tiket pesawat yang lagi mahal.
Maka ketika ada acara pernikahan salah seorang famili dari istri saya di Payakumbuh, Sumbar, belum lama ini, saya sengaja mengajak sang keponakan yang sudah lama kebelet ingin pulang kampung.
Pada suatu kesempatan, seseorang yang tahu silsilah keluarga istri saya menjelaskan arti pentingnya melacak dan mengenal asal asul kepada sang keponakan yang terlihat sangat menikmati suasana di kampung.
Memang jika dilihat komposisi demografi negara kita, sebagaimana juga di negara-negara lain, semakin banyak penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan atau lazim disebut urbanisasi. Bahkan diprediksi nantinya kawasan pedesaan akan makin sepi lagi.
Namun demikian merupakan tanggung jawab orang tua untuk menceritakan, mengenalkan, dan jika punya kesempatan dan kemampuan mengajak anak cucunya menengok kampung halaman, baik kampung ayahnya maupun kampung ibunya.
Hal itu akan berperan untuk menghargai dan memelihara kebudayaan kita yang amat kaya ini. Mereka yang mengenal kampung halaman juga akan lebih menghargai para petani atau nelayan karena menyaksikan langsung perjuangan mereka yang bertahan tinggal di kampung.
Sungguh kurang tepat bila ada seseorang yang tak mengetahui desa tempat ayah dan desa tempat ibunya berasal. Atau kalaupun ayah ibunya sudah orang kota, mungkin desa kakek neneknya perlu diketahui, sekaligus mampu menyusun silsilah minimal dua generasi ke atas (ayah-ibu dan kakek-nenek dari ayah serta kakek-nenek dari ibu).
Berkaca pada perjuangan konglomerat Indonesia seperti terbaca pada biografi Liem Soei Liong dan Mochtar Riyadi, para taipan tersebut tetap menjalin hubungan, bahkan membangun sesuatu di kampung halamannya di China.Â
Maka kalau ada kemampuan, ada baiknya bila seseorang membeli sebidang kebun, sepetak sawah atau memelihara beberapa ekor sapi di kampungnya sendiri. Dengan cara itu kita juga telah memberikan lapangan pekerjaan pada orang kampung yang diajak bekerja sama.
Mungkin sedikit kendala bagi saudara-saudara kita yang beretnis Betawi, karena konon sudah "kehilangan" kampung. Untung saja Pemprov DKI Jakarta punya Kampung Betawi seperti di Setu Babakan yang menjadi tempat pelestarian budaya Betawi.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H