Bahwa PDIP kembali menduduki posisi teratas dalam pemilu legislatif 2019, sama halnya dengan 2014, telah sama-sama kita ketahui. Namun perolehan suaranya di kisaran 19% sebetulnya tidak begitu mengesankan, mengingat sebelumnya banyak pengamat berpendapat akan terjadi "efek ekor jas", karena Joko Widodo yang merupakan kader PDIP bertarung dan memenangkan pilpres untuk kedua kalinya.
Jangan-jangan kemampuan PDIP untuk melebarkan sayapnya memang sudah mentok. Soalnya, diakui atau tidak, tetap ada kesan PDIP kurang dekat dengan ummat Islam, kecuali dari kalangan Islam abangan.
Makanya waktu akhirnya Prabowo bertemu langsung dengan Jokowi di MRT, Sabtu (13/7/2019), sebetulnya tidaklah mengagetkan, karena PDIP dan Gerindra pada dasarnya dekat, sebelum akhirnya Gerindra atau khususnya Prabowo "lengket" dengan Presidium Alumni (PA) 212.
Namun kelengketan Prabowo-PA 212 belum cukup tangguh untuk menggoyang Jokowi yang dengan jitu (walaupun di luar dugaan banyak orang) menggandeng Ma'ruf Amin, sehingga membuat suara NU bulat mendukung Jokowi.
Tapi, kembali perlu diulangi, dukungan terhadap Jokowi bukan berarti otomatis juga dukungan terhadap PDIP di pileg. Justru PKB yang antara lain banyak mendapat keuntungan, partai tempat Ma'ruf Amin bernaung.
Nah, tak ada cara lain bila PDIP ingin memperbanyak perolehan suaranya menjadi katakanlah minimal 25% dari jumlah pemilih, mau tak mau harus mendekati kalangan muslim.Â
PDIP bukannya tak menyadari hal itu, dan telah membentuk ormas Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sebagai organisasi sayap beberapa tahun lalu.
Sayangnya, kegiatan Bamusi tidak banyak terekspos di media massa, kecuali saat pembentukan dan pelantikan pengurusnya beberapa tahun lalu. Jangan-jangan memang sudah lama vakum.
Baik, tak usahlah berbicara strategi PDIP untuk menambah konstituennya. Toh pileg berikutnya masih lima tahun lagi. Tapi pembangunan lima tahun kedepan wajib disukseskan. Kalau sukses, tentu langsung ataupun tidak, akan berpengaruh positif pada PDIP.
Agar pembangunan sukses perlu diciptakan iklim yang kondusif tanpa banyak ganggun. Pertemuan Jokowi-Prabowo adalah satu hal penting. Namun belum cukup, karena kalau dibaca pernyataan dari tokoh PA 212, terkesan mereka mengucapkan selamat tinggal pada Probowo.
Mungkin tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akan menjadi wadah penyalur aspirasi PA 212. Agaknya bila hanya PKS sendiri saja, tak akan menjadi penghalang bagi lajunya gerak pembangunan.Â
Namun keterbelahan masyarakat akan tetap eksis dan perang hujatan di media sosial tampaknya tak segera reda karena itu tadi, langkah Prabowo ternyata tak direstui PA 212.
Di satu sisi adanya partai oposisi yang akan diperankan PKS, termasuk secara informal oleh PA 212, sepanjang bersifat konstruktif, malah diperlukan sebagai alat untuk check and balance.
Tapi agar tidak ada gesekan di tingkat akar rumput yang berbahaya bagi persatuan bangsa, maka perlu rasanya digagas pertemuan antara perwakilan Bamusi dan PA 212. Politisi PDIP pun sebaiknya mulai menggagas keakraban dengan PKS. Jika ini terwujud, pasti akan terasa semakin sejuk di hati semua kalangan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H