Pada hari Senin (1/7/2019) yang lalu, saya mengurus langsung perpanjangan izin penggunaan makam almarhum adik saya di sebuah tempat pemakaman umum (TPU) di Jakarta Timur untuk periode 2019-2022. Ini merupakan perpanjangan yang kesekian kalinya, karena sang adik meninggal dunia tahun 1995.
Hanya saja selama ini ada  "orang dalam" dari kantor yang mengeluarkan izin penggunaan makam yang membantu saya. Saya hanya menitipkan uang seingat saya Rp 300.000, beberapa hari kemudian saya tinggal mengambil surat yang telah ditandatangani pejabat yang berwenang. Bahkan bisa juga satu hari jadi bila pejabat yang berwenang lagi berada di kantor yang melekat ke komplek pemakaman tersebut.
Saya tahu bahwa tarif resminya tidaklah sebesar itu, makanya saya tidak mendapatkan kuitansi atau tanda terima. Tapi kalaupun "orang dalam" tersebut mengambil fee, taksiran saya tidak sampai berlipat-lipat di atas tarif resmi.Â
Memang waktu dulu, khususnya sebelum tahun 2012, sistemnya tidak begitu transparan, sehingga seandainya mencoba mengurus sendiri, tetap saja ditarik biaya melebihi tarif resmi dan tanpa tanda terima.
Dulu saya tak punya waktu cukup buat mengurus karena jam kerja di kantor yang padat. Sekarang karena pekerjaan saya lebih fleksibel waktunya, saya putuskan mengurus sendiri.
Saya memang mencatat khusus tanggal habisnya izin yang lama. Soalnya kalau kelupaan, acamannya adalah lahan makam tersebut dapat digunakan untuk menguburkan jenazah lain secara ditumpuk.
Di satu sisi saya merasa ada transparansi dalam sistem sekarang ini. Saya kaget ternyata tarif resminya relatif ringan yakni Rp 40.000 untuk 3 tahun. Tapi untuk lokasi makam yang lebih strategis, maksudnya yang di pinggir jalan yang membelah pemakaman umum, tentu tarifnya lebih mahal.
Pembayaran dilakukan di Bank DKI, namun bisa juga dilakukan di kantor kelurahan karena telah dibekali mesin penggesek kartu milik Bank DKI. Perlu diketahui di semua kelurahan di Jakarta telah ada sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), yang salah satu kewenangannya mengeluarkan surat izin perpanjangan penggunaan tanah makam.
Pelayanan PTSP relatif tertib dan cepat. Saat masuk, seseorang yang butuh pelayanan harus mengambil nomor antrean dan duduk di ruang tunggu sampai nomornya dipanggil.Â
Hanya saja dalam hal perpanjangan izin makam, sebelum ke PTSP tetap harus datang ke kantor yang ada di TPU dengan membawa surat lama (asli) yang telah habis masa berlakunya, foto kopi KTP dan Kartu Keluarga (KK) atas nama pemohon.
Setelah dicek ke daftar pengguna makam yang ada di kantor TPU, baru dibuatkan surat pengantar untuk pengurusan di PTSP kelurahan manapun di DKI. Surat pengantar dibubuhi materai Rp 6.000 dan difotokopi dua rangkap. Satu rangkap yang asli dibawa ke PTSP. Yang fotokopi, buat kantor TPU dan buat arsip pemohon.
Dengan persyaratan yang lengkap (surat pengantar dari TPU, surat izin periode sebelumnya, KTP dan KK pemohon), petugas PTSP akan mengecek tarif yang harus dibayar dan nomor rekening tujuan.Â
Bagi yang punya kartu debit bisa langsung membayar di PTSP, tapi bagi yang ingin membayar tunai harus pergi ke Bank DKI terdekat. Begitu bukti pembayaran telah ada, petugas PTSP langsung membuat surat izin baru.
Saya hanya menghabiskan waktu sekitar 20 menit di PTSP Kelurahan Tebet Timur, Jakarta Selatan, sudah termasuk saat mengantre dan saat surat izin dibawa ke ruang lain buat ditandatangani pejabat yang berwenang.
Dengan mengurus sendiri saya jadi tahu betapa dulunya uang yang dipungli petugas terbilang besar. Apalagi kalau dikalikan sekian orang, karena setiap hari kerja selalu banyak pemohonnya.Â
PTSP harus diakui banyak membantu dalam mempercepat pelayanan. Tapi akan lebih baik bila database di TPU saling terhubung secara langsung dengan yang di PTSP agar pemohon betul-betul hanya datang ke satu pintu saja, tak perlu ke TPU.
Namun tampaknya masih ada hambatan buat menyatukan database-nya karena yang saya lihat di TPU masih memakai sistem manual, sedangkan di TPSP sudah lebih canggih.
Karena masih perlu dua pintu yakni TPU dan PTSP, keuntungan dari sisi waktu mungkin tak terlalu signifikan. Tapi keberhasilan meniadakan pungli pantas diapresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H