Bagi para perantau asal Minang di Jakarta atau di kota-kota lainnya, bisa jadi akan merasakan bahwa menyantap masakan Minang di tanah rantau tidaklah sedahsyat kalau menyantapnya di kampung halaman.
Bukan berarti masakan Minang di tempat lain tidak asli. Karena secara umum, bumbu masakannya sudah sama dengan yang di Sumbar, bahkah termasuk masakan Minang yang dijual oleh pedagang yang bukan orang Minang.
Soalnya seiring dengan makin menyebarnya warung nasi Padang di seantero nusantara, bahkan juga di luar negeri, banyak mantan pekerja di warung tersebut yang akhirnya menguasai racikan makanan Minang dan membuka usaha sendiri.
Maka jangan heran kalau ada orang Jawa atau Sunda yang membuka warung nasi Padang. Namun sebagai "balasannya", sudah banyak pula urang awak yang menjual nasi udik, pecel lele, dan masakan dari luar Minang lainnya.
Artinya, di zaman sekarang ini penguasaan berbagai masakan daerah tidak lagi dimonopoli oleh orang dari daerah asal makanan tersebut. Tidak ada sebetulnya bumbu yang dirahasiakan karena semuanya bisa dipelajari.
Namun masalahnya adalah pada ketersediaan bahan baku dan soal selera masyarakat yang berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Masakan Padang (maaf kalau tidak konsisten, sebetulnya yang paling tepat istilahnya adalah masakan Minang, mengingat Padang hanya satu dari belasan kota di Ranah Minang, namun orang bukan Minang lazim menganggap semuanya sebagai Padang), paling tidak punya ciri khas pada rasa pedasnya dan banyaknya unsur santan.
Nah di sinilah bedanya. Cabe merah keriting yang tumbuh di Sumbar lebih kurus dan lebih panjang, sehingga rasanya juga lebih nendang. Di Jawa jarang ditemukan cabe seperti itu. Beberapa rumah makan Padang yang mementingkan rasa yang asli, terpaksa mendatangkan cabe langsung dari Sumbar.
Namun banyak pula rumah makan yang memang sengaja pakai cabe yang ada di tanah perantauannya agar masakannya cocok dengan lidah pelanggannya.
Kemudian soal santan, masakan Padang yang ada di Sumbar lebih kental, sementara yang di luar Sumbar lebih encer. Ini barangkali lebih karena pertimbangan menyesuaikan dengan selera orang luar Sumbar, bukan soal ketersediaan bahan baku.
Persepsi tentang beras yang enak, juga berbeda antara lidah orang Minang yang lama tinggal di kampung dengan orang bukan Minang atau orang Minang yang sejak kecil sudah berdiam di rantau.
Kalau di Jawa beras pulen yang lebih lengket dan gurih dianggap enak, orang Minang menilai beras yang tercerai berai, istilah Minangnya badarai, itu yang lebih enak.
Maka jawaban terhadap pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, sangat tergantung pada kebiasaan seseorang. Bagi yang lebih lama tinggal di Sumbar, meskipun ia bukan asli Minang karena juga banyak etnis Jawa, Batak dan Tionghoa yang berdomisili di Sumbar, mungkin akan merasa lebih enak dengan masakan Minang yang dijual di Sumbar.
Sedangkan bagi yang memang dari kecil mengenal masakan Minang yang terdapat di luar Sumbar, bisa jadi lebih menyukai seperti itu ketimbang yang ada di Sumbar.Â
Namun perlu diketahui di Sumbar sekalipun, masing-masing rumah makan yang sudah terkenal, tidak semua masakannya tergolong sangat enak.Â
Ada rumah makan yang jagoan pada masakan rendang, ada yang jagoan di ayam pop, ada yang jagoan di gulai kepala ikan. Ada pula yang jagoan di dendeng batokok, dan sebagainya. Rendang terkenal itu ada di Payakumbuh, ayam pop di Bukittinggi, kepala ikan di Pariaman dan dendeng batokok di Sijunjung.
Terlepas dari perbedaan masakan Minang di manapun, satu hal yang tak terbantahkan, inilah makanan yang diterima luas oleh lidah orang Indonesia..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H