Wawancara merupakan salah satu tahap yang harus dilewati para pencari pekerjaan. Tentu semakin tinggi posisi yang diincar, Â semakin banyak aspek yang akan digali oleh pewawancara untuk memutuskan menerima atau menolak seorang kandidat.
Namun serendah-rendahnya posisi yang dilamar, biasanya tetap ada semacam wawancara ringkas, meskipun bergaya informal, untuk mengenal si pelamar sekaligus menerka tingkat kejujurannya.
Ya, kejujuran sehingga dapat dipercaya atau bahasa kerennya integritas, adalah hal yang paling mendasar yang amat dibutuhkan di semua jenjang pekerjaan, termasuk misalnya pengemudi, asisten rumah tangga, dan pekerjaan lain yang berdekatan dengan itu.
Tulisan ini lebih terfokus pada wawancara untuk mengisi posisi management trainee (MT) di sebuah perusahaan kelas menengah ke atas , yakni mereka yang direkrut dari lulusan S1 yang nantinya bila lulus akan mengikuti pelatihan. Seorang MT akan mengisi posisi staf dan dikader untuk menduduki jabatan lebih tinggi.
Ada banyak sekali aspek yang digali pewawancara untuk pelamar MT, selain aspek integritas yang bersifat wajib itu tadi. Kemampuan seseorang dalam menganalisis sesuatu, kemampuan dalam mempengaruhi orang lain, kemampuan bekerjasama, kemampuan bekerja dalam tekanan, semangat juang, rasa percaya diri, ketelitian, kreativitas, adalah beberapa di antaranya.
Struktur dalam wawancara yang berkembang saat ini, setelah sesi memperkenalkan diri, lebih banyak meminta si pelamar menceritakan pengalamannya yang berkesan. Jika si pelamar merupakan fresh graduate, tentu yang diceritakan pengalamannya saat kuliah, baik yang berhubungan dengan kegiatan akademis, maupun kegiatan yang berkaitan dengan hobi, organisasi kemahasiswaan, kepanitiaan suatu acara, dan sebagainya.
Dengan menceritakan pengalaman sendiri, pewawancara disuguhi fakta yang telah dilakukan si pelamar. Dulunya, dalam wawancara banyak pertanyaan yang bersifat pengandaian. Contohnya: "Jika Anda diminta bekerja sampai jauh malam selama seminggu, apakah anda sanggup?". Maka kalaupun si pelamar menjawab bahwa ia sanggup, sesungguhnya tak ada jaminan ia akan betul-betul sanggup.
Tapi bila si pelamar menceritakan suatu acara seminar yang mengundang beberapa pakar dari berbagai universitas di mana ia menjadi salah seorang panitia yang bekerja siang malam sejak beberapa hari sebelumnya, maka ia bisa dinilai seorang pekerja keras. Tentu kesimpulan ini didapat setelah mengelaborasi ceritanya panjang lebar dan pewawancara mengajukan pertanyaan pendalaman.
Masalahnya, bila setelah menghabiskan waktu yang lama, para pewawancara masih belum mendapat gambaran yang jelas  tentang kelebihan dan kekurangan dari seorang pelamar, pewawancara sering juga main tembak langsung. Maksudnya, pertanyaannya lebih berupa "instruksi" agar si pelamar menceritakan apa yang dirasakan sebagai kelebihannya dan apa yang menjadi kekurangannya.
Justru dengan gaya langsung begitu, tak jarang si pelamar kelabakan. Padahal kalau tidak bisa menjawab, gampang ditebak, pasti si pelamar akan gagal dalam berburu pekerjaan.
Sebetulnya setiap orang pasti punya kelebihan dan juga kekurangan. Hanya kalau harus mengungkapkannya secara langsung dalam wawancara, belum tentu bisa lancar.