Sudah lama saya tidak ke Ancol, objek wisata paling populer di Jakarta. Saat hari ulang tahun Jakarta ke-492, Sabtu 22 Juni 2019 kemarin, saya bersama keluarga sengaja main ke Ancol. Siapa tahu tiket masuknya gratis, karena dengar-dengar setiap HUT Jakarta, ada kebijakan khusus seperti itu.
Ternyata informasi yang saya dapat keliru. Harga tiket masuk berlaku normal, sekadar diskon pun tak ada. Satu orang terkena biaya Rp 25.000 dan sejumlah yang sama untuk mobil. Pantas saja antrean masuk tidak mengular.
Harga di atas termasuk mahal bagi kebanyakan orang untuk hanya sekadar menikmati pantai. Sayangnya tak ada pantai lain di Jakarta dan sekitarnya yang memadai buat dikunjungi.
Sebetulnya di Ancol sendiri terdapat beberapa objek yang memungut bayaran secara terpisah. Yang paling diminati adalah theme park Dunia Fantasi (Dufan). Namun kemarin juga agak sepi. Padahal ada beberapa wahana permainan baru di Dufan seperti yang tertera di baliho di sepanjang jalan di kawasan wisata itu.
Maka Dufan yang dulu digadang-gadang sebagai Disneyland-nya Indonesia, tampaknya perlu lebih banyak berbenah, apalagi kalau ingin menyaingi Universal Studio terdekat yang ada di Singapura.
Karena adanya beachwalk itu, pengunjung yang datang dengan kendaraan pribadi terpaksa parkir agak jauh. Namun kawasan ini terlihat nyaman karena rindangnya pepohonan dan banyaknya ornamen berupa balon yang dipasang di bagian atas jalanan, termasuk lampu-lampu yang di malam hari tentu akan memancarkan warna-warni.
Memang, di kawasan wisata Ancol tersebut relatif banyak restoran atau rumah makan berukuran besar. Tapi ya karena masalah harga, pengunjung berkantong pas-pasan pasti keder duluan mau masuk restoran, dugaannya akan menghabiskan banyak uang.
Boleh dikatakan bahwa manajemen yang mengelola kawasan wisata Ancol sering melakukan pambaruan untuk mempercantik diri. Setiap tahun ada saja perubahannya.
Sekarang banyak spot menarik untuk berfoto seperti adanya lambang hati berukuran besar, jembatan di tengah laut, dan perluasan area pantai yang berpasir, dugaan saya merupkan hasil reklamasi.
Tapi lagi-lagi diperlukan kreativitas tinggi, agar Ancol tidak dianggap meniru objek wisata lain. Soalnya lambang hati berukuran besar seperti itu bertebaran di banyak objek wisata.
Meskipun Ancol selalu mempercantik diri, tapi sebagai orang yang dulu melihat kejayaan Pasar Seni Ancol di tahun 1980-an sampai 1990-an, termasuk serunya menonton film di drive-in theater, di mana penonton duduk dalam mobil menatap ke layar lebar, menurut saya ada yang hilang di Ancol versi sekarang.
Yang hilang adalah bioskop terbukanya. Pasar Seni masih eksis, tapi makin sepi saja. Padahal dulu para pelukis ternama sering mangkal dan memajang karyanya. Demikian pula kerajinan bernilai seni tinggi dari berbagai daerah, laris diburu pengunjung.
Kuncinya adalah selalu lebih kreatif dan inovatif, tidak sekadar meniru objek wisata lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H