Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memangnya Ada Sekolah Swasta Bermutu dengan Tarif Murah di Kawasan Kumuh?

16 Juni 2019   10:34 Diperbarui: 17 Juni 2019   05:26 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Kembar dan murid-muridnya. (republika.co.id)

Sekolah swasta identik dengan sekolah yang menarik iuran mahal pada murid-muridnya, apalagi bila dibandingkan dengan sekolah negeri yang sejak beberapa tahun terakhir  sudah tak menarik bayaran lagi.

Tapi sekolah swasta yang mahal tersebut mengimbanginya dengan mutu pendidikan yang relatif baik. Walaupun sekarang semakin banyak sekolah negeri yang masuk jajaran sekolah favorit, sekolah swasta yang sudah punya nama, tetap tak tergoyahkan.

Dulu, sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan yayasan yang berafiliasi agama tertentu, seperti Kristen dan Islam, sudah menjadi jaminan mutu. Sekarang juga banyak selokah berlabel internasional yang tidak berkaitan dengan agama tertentu, yang berkembang sebagai sekolah elit.

Saya ingat di kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumatera Barat, SD paling prestisius yang muridnya berasal dari keluarga kaya adalah SD Pius dan untuk SMP adalah SMP Fidelis. Tapi bila masih ingin di sekolah swasta bermutu untuk SMA harus ke Padang karena di sana ada SMA Don Bosco. 

Semua sekolah di atas tersebut dari namanya jelas berkaitan dengan agama Kristen. Tapi karena mutunya yang bagus, di samping anak-anak Tionghoa, banyak pula orang Minang yang beragama Islam yang sekolah di sana. 

"Tapi sekolah swasta yang mahal tersebut mengimbanginya dengan mutu pendidikan yang relatif baik. Walaupun sekarang semakin banyak sekolah negeri yang masuk jajaran sekolah favorit,"

Tak ada masalah karena untuk pelajaran agama, bagi yang muslim akan belajar agama Islam dari guru yang kompeten yang berkoordinasi dengan pihak sekolah.

Ada SMP swasta lain di Payakumbuh yakni SMP Muhammadiyah, SMP PGRI, dan SMP Taman Siswa, tapi saat dekade 1970-an, kalah populer ketimbang sekolah negeri dan sekolah swasta Kristen di atas. 

Dengan uraian di atas, sekilas dapat diartikan bahwa ada dua kelompok sekolah swasta, kelompok mahal dan murah.  Yang mahal identik dengan bermutu, yang dilihat dari alumninya banyak yang jadi "orang", fasilitas sekolah yang memadai, guru-gurunya yang kompeten dan proses pembelajaran yang lancar.

Sedangkan sekolah yang relatif murah identik dengan fasilitas yang asal-asalan, jumlah guru yang sedikit, tingkat drop out yang tinggi, dan sedikit sekali alumninya yang sukses di bidang yang ditekuninya.

Bahkan sewaktu saya setelah dewasa bekerja dan menetap di Jakarta, gambaran adanya dua kelompok sekolah swasta tersebut tetap relevan. Namun boleh juga kalau disebut adalagi sekolah informal yang mungkin tidak tercatat oleh pemerintah karena tidak memenuhi syarat, tapi sangat membantu bagi kalangan warga yang tinggal di kawasan kumuh.

Tentu saja bila memakai kacamata standar pendidikan, sekolah informal tersebut berada pada peringkat paling bawah, karena ruang kelasnya bukan bangunan permanen, bahkan ada yang di kolong jembatan. Guru-gurunya bersifat sukarela dan bisa merangkap mengajar sekaligus di beberapa kelas. Itupun gurunya tidak punya sertifikasi guru.

Nah, baru-baru ini saya membaca sebuah buku karya James Tooley berjudul "Sekolah untuk Kaum Miskin, Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia" (Penerbit Alvabet, cetakan pertama, Februari 2013).

Tooley yang meneliti sekolah swasta yang tidak disubsidi pemerintah, bahkan tidak diakui atau tidak terdaftar, ternyata dengan fasilitas yang apa adanya telah berperan dominan, melebihi peran sekolah negeri, di kawasan kumuh perkotaan di Heyderabad dan Delhi (India), Ga (pinggiran kota Accra, ibukota Ghana) dan Lagos (Nigeria). 

Kenapa kok sekolah negeri bisa kalah padahal sekolah negeri di sana seperti juga di negara kita sudah bersifat gratis? Ternyata sekolah negeri di sekitar kawasan kumuh tersebut tidak tersentuh pengawasan pemerintah, sehingga guru-gurunya banyak yang tidak masuk mengajar, dan kepala sekolah tak bisa dengan gampang menghukum guru yang tak disiplin.

Sedangkan di sekolah swasta yang didirikan oleh mereka yang memang berjiwa pendidik, pemiliknya berniat memberikan materi pengajaran sebaik mungkin yang mereka bisa. 

Meski guru-gurunya bergaji kecil tapi tetap bersemangat karena juga bisa sewaktu-waktu dipecat oleh pemilik sekolah bila tidak disiplin.

Dari mana sumber dana sekolah tersebut? Ini yang mengherankan. Ternyata orang-orang miskin di sana mau membayar walaupun dengan tarif amat murah, kecuali yang betul-betul sangat miskin akan dibebaskan dari uang sekolah.

Dengan jumlah murid yang banyak, secara keseluruhan jumlah uang yang diterima cukup untuk menggaji beberapa orang guru. Bahkan pemilik sekolah mengakui bahwa motif mereka mendirikan sekolah merupakan gabungan motif sosial dan bisnis.

Tak ada murid yang dikeluarkan karena tidak membayar uang sekolah, karena para orang tua di sana sudah tahu kalau mereka belum membayar, anaknya juga malu pergi ke sekolah.

Sayang sekali Tooley yang seorang guru besar bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris, ini tidak meneliti Indonesia, khususnya kawasan kumuh di Jakarta dan kota-kota sekitarnya yang meliputi Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor.

Dulu seingat saya beberapa kali media massa meliput sebuah sekolah informal di Depok yang disebut sekolah "master" (masjid terminal). Saya coba mencari informasi dari media daring, terlihat perkembangannya cukup menggembirakan. Namun berita paling baru adalah tahun 2016. Semoga sekarang makin berkembang.

Lulusan sekolah master yang murid-muridnya banyak juga dari para pengamen dan anak jalanan ini, beberapa di antaranya berhasil lulus seleksi untuk kuliah di perguruan tinggi negeri papan atas seperti UI dan Undip. Bangunannya yang dibuat dari kontainer terlihat cantik karena lukisan di dindingnya.

sumber: detik.com
sumber: detik.com
Saya juga teringat ada kisah ibu kembar yang sangat peduli dengan pendidikan anak-anak di kolong jembatan kawasan Pademangan, Jakarta Utara. Kembali saya berselancar di dunia maya, salah satunya saya membaca republika.co.id (6/1/2017).

Ternyata sekolah tersebut tidak lagi berada di kolong jembatan, tapi sudah punya bangunan khusus yang terletak dekat kolong jembatan, berkat sumbangan dari beberapa pihak.

Tidak tangung-tanggung, ibu kembar yang bernama Sri Rosiati dan Sri Irianingsih itu telah membuat 5 sekolah darurat, termasuk yang di Pademangan. Sekolah darurat lain berada di kolong jembatan Rawa Bebek, kolong jembatan Pluit, kolong jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis, semuanya di Jakarta.

Ibu Kembar dan murid-muridnya. (republika.co.id)
Ibu Kembar dan murid-muridnya. (republika.co.id)
Mungkin kalau Tooley meneliti di Jakarta, kesimpulannya tidak berbeda jauh dengan temuannya di India dan Afrika. Kita harus berterima kasih pada penggagas sekolah informal di Jabodetabek, mungkin masih banyak yang belum terliput oleh media, termasuk yang di kota-kota besar lain seperti di Surabaya, Bandung, Medan, dan sebagainya.

Memang kalau hanya menyerahkan kepada pemerintah, akan tetap banyak penduduk di kawasan kumuh yang tak tersentuh pendidikan. 

Maka menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, kita di Indonesia tampaknya juga punya sekolah swasta bertarif murah namun tetap bermutu di daerah pinggiran kota yang padat penduduk berpenghasilan rendah.

Pendidikan yang baik diyakini sebagai faktor kunci bagi masyarakat miskin untuk mampu memperbaiki nasibnya. Masalahnya pendidikan itu relatif mahal. 

Sekolah negeri pun yang katanya gratis tetap perlu uang iuran yang disepakati bersama para orang tua murid. Nah, sekolah informal ternyata mampu menjadi jawaban untuk mengisi kekosongan sekolah di kawasan kumuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun