Tentu saja bila memakai kacamata standar pendidikan, sekolah informal tersebut berada pada peringkat paling bawah, karena ruang kelasnya bukan bangunan permanen, bahkan ada yang di kolong jembatan. Guru-gurunya bersifat sukarela dan bisa merangkap mengajar sekaligus di beberapa kelas. Itupun gurunya tidak punya sertifikasi guru.
Nah, baru-baru ini saya membaca sebuah buku karya James Tooley berjudul "Sekolah untuk Kaum Miskin, Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia" (Penerbit Alvabet, cetakan pertama, Februari 2013).
Tooley yang meneliti sekolah swasta yang tidak disubsidi pemerintah, bahkan tidak diakui atau tidak terdaftar, ternyata dengan fasilitas yang apa adanya telah berperan dominan, melebihi peran sekolah negeri, di kawasan kumuh perkotaan di Heyderabad dan Delhi (India), Ga (pinggiran kota Accra, ibukota Ghana) dan Lagos (Nigeria).Â
Kenapa kok sekolah negeri bisa kalah padahal sekolah negeri di sana seperti juga di negara kita sudah bersifat gratis? Ternyata sekolah negeri di sekitar kawasan kumuh tersebut tidak tersentuh pengawasan pemerintah, sehingga guru-gurunya banyak yang tidak masuk mengajar, dan kepala sekolah tak bisa dengan gampang menghukum guru yang tak disiplin.
Sedangkan di sekolah swasta yang didirikan oleh mereka yang memang berjiwa pendidik, pemiliknya berniat memberikan materi pengajaran sebaik mungkin yang mereka bisa.Â
Meski guru-gurunya bergaji kecil tapi tetap bersemangat karena juga bisa sewaktu-waktu dipecat oleh pemilik sekolah bila tidak disiplin.
Dari mana sumber dana sekolah tersebut? Ini yang mengherankan. Ternyata orang-orang miskin di sana mau membayar walaupun dengan tarif amat murah, kecuali yang betul-betul sangat miskin akan dibebaskan dari uang sekolah.
Dengan jumlah murid yang banyak, secara keseluruhan jumlah uang yang diterima cukup untuk menggaji beberapa orang guru. Bahkan pemilik sekolah mengakui bahwa motif mereka mendirikan sekolah merupakan gabungan motif sosial dan bisnis.
Tak ada murid yang dikeluarkan karena tidak membayar uang sekolah, karena para orang tua di sana sudah tahu kalau mereka belum membayar, anaknya juga malu pergi ke sekolah.
Sayang sekali Tooley yang seorang guru besar bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris, ini tidak meneliti Indonesia, khususnya kawasan kumuh di Jakarta dan kota-kota sekitarnya yang meliputi Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor.
Dulu seingat saya beberapa kali media massa meliput sebuah sekolah informal di Depok yang disebut sekolah "master" (masjid terminal). Saya coba mencari informasi dari media daring, terlihat perkembangannya cukup menggembirakan. Namun berita paling baru adalah tahun 2016. Semoga sekarang makin berkembang.