Sekolah swasta identik dengan sekolah yang menarik iuran mahal pada murid-muridnya, apalagi bila dibandingkan dengan sekolah negeri yang sejak beberapa tahun terakhir  sudah tak menarik bayaran lagi.
Tapi sekolah swasta yang mahal tersebut mengimbanginya dengan mutu pendidikan yang relatif baik. Walaupun sekarang semakin banyak sekolah negeri yang masuk jajaran sekolah favorit, sekolah swasta yang sudah punya nama, tetap tak tergoyahkan.
Dulu, sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan yayasan yang berafiliasi agama tertentu, seperti Kristen dan Islam, sudah menjadi jaminan mutu. Sekarang juga banyak selokah berlabel internasional yang tidak berkaitan dengan agama tertentu, yang berkembang sebagai sekolah elit.
Saya ingat di kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumatera Barat, SD paling prestisius yang muridnya berasal dari keluarga kaya adalah SD Pius dan untuk SMP adalah SMP Fidelis. Tapi bila masih ingin di sekolah swasta bermutu untuk SMA harus ke Padang karena di sana ada SMA Don Bosco.Â
Semua sekolah di atas tersebut dari namanya jelas berkaitan dengan agama Kristen. Tapi karena mutunya yang bagus, di samping anak-anak Tionghoa, banyak pula orang Minang yang beragama Islam yang sekolah di sana.Â
"Tapi sekolah swasta yang mahal tersebut mengimbanginya dengan mutu pendidikan yang relatif baik. Walaupun sekarang semakin banyak sekolah negeri yang masuk jajaran sekolah favorit,"
Tak ada masalah karena untuk pelajaran agama, bagi yang muslim akan belajar agama Islam dari guru yang kompeten yang berkoordinasi dengan pihak sekolah.
Ada SMP swasta lain di Payakumbuh yakni SMP Muhammadiyah, SMP PGRI, dan SMP Taman Siswa, tapi saat dekade 1970-an, kalah populer ketimbang sekolah negeri dan sekolah swasta Kristen di atas.Â
Dengan uraian di atas, sekilas dapat diartikan bahwa ada dua kelompok sekolah swasta, kelompok mahal dan murah. Â Yang mahal identik dengan bermutu, yang dilihat dari alumninya banyak yang jadi "orang", fasilitas sekolah yang memadai, guru-gurunya yang kompeten dan proses pembelajaran yang lancar.
Sedangkan sekolah yang relatif murah identik dengan fasilitas yang asal-asalan, jumlah guru yang sedikit, tingkat drop out yang tinggi, dan sedikit sekali alumninya yang sukses di bidang yang ditekuninya.
Bahkan sewaktu saya setelah dewasa bekerja dan menetap di Jakarta, gambaran adanya dua kelompok sekolah swasta tersebut tetap relevan. Namun boleh juga kalau disebut adalagi sekolah informal yang mungkin tidak tercatat oleh pemerintah karena tidak memenuhi syarat, tapi sangat membantu bagi kalangan warga yang tinggal di kawasan kumuh.